Kamis, 29 Maret 2012

macam-macam jenis Hama Tanaman dan Cara Pengendalian

HAMA TANAMAN 

1. MORFOLOGI UMUM HAMA

Untuk mengenal berbagai jenis binatang yang dapat berperan sebagai hama, maka sebagai langkah awal dalam kuliah dasar - dasar Perlintan akan dipelajari bentuk atau morfologi, khususnya morfologi luar (external morphology) binatang penyebab hama. Namun demikian, tidak semua sifat morfologi tersebut akan dipelajari dan yang dipelajari hanya terbatas pada morfologi “penciri” dari masing-masing golongan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan identifikasi atau mengenali jenis - jenis hama yang dijumpai di lapangan.

Dunia binatang (Animal Kingdom) terbagi menjadi beberapa golongan besar yang masing-masing disebut Filum. Dari masing-masing filum tersebut dapat dibedakan lagi menjadi golongan - golongan yang lebih kecil yang disebut Klas. Dari Klas ini kemudian digolongkan lagi menjadi Ordo (Bangsa) kemudian Famili (suku), Genus (Marga) dan Spesies (jenis).

Beberapa filum yang anggotanya diketahui berpotensi sebagai hama tanaman adalah Aschelminthes (nematoda), Mollusca (siput), Chordata (binatang bertulang belakang), dan Arthropoda (serangga, tunggau, dan lain - lain). Dalam uraian berikut akan dibicarakan secara singkat tentang sifat-sifat morfologi luar anggota filum tersebut.

A. FILUM ASCHELMINTHES

Anggota filum Aschelminthes yang banyak dikenal berperan sebagai hama tanaman (bersifat parasit) adalah anggota klas Nematoda. Namun, tidak semua anggota klas Nematoda bertindak sebagai hama, sebab ada di antaranya yang berperan sebagai nematoda saprofag serta sebagai nematoda predator (pemangsa), yang disebut terakhir ini tidak akan dibicarakan dalam uraian - uraian selanjutnya.

Secara umum ciri - ciri anggota klas Nematoda tersebut antara lain adalah :

* Tubuh tidak bersegmen (tidak beruas)

* Bilateral simetris (setungkup) dan tidak memiliki alat gerak

* Tubuh terbungkus oleh kutikula dan bersifat transparan.

 Untuk pembicaraan selanjutnya, anggota klas nematoda yang bersifat saprofag digolongkan ke dalam nematoda non parasit dan untuk kelompok nematoda yang berperan sebagai hama tanaman dimasukkan ke dalam golongan nematoda parasit.

Ditinjau dari susunannya, maka bentuk stylet dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe stomatostylet dan odonostylet. Tipe stomatostylet tersusun atas bagian - bagian conus (ujung), silindris (bagian tengah) dan knop stylet (bagian pangkal). Tipe stylet ini dijumpai pada nematoda parasit dari ordo Tylenchida.

Tipe odonostylet dijumpai pada nematoda parasit dari ordo Dorylaimida, yang styletnya tersusun atas conus dan silindris saja. Beberapa contoh dari nematoda parasit ini antara lain adalah :

* Meloidogyne sp. yang juga dikenal sebagai nematoda “puru akar” pada tanaman tomat, lombok, tembakau dan lain - lain.

* Hirrschmanieella oryzae (vBrdH) pada akar tanaman padi sawah.

* Pratylenchus coffae (Zimm) pada akar tanaman kopi.

B. FILUM MOLLUSCA

Dari filum Mollusca ini yang anggotanya berperan sebagai hama adalah dari klas Gastropoda yang salah satu jenisnya adalah Achatina fulica Bowd atau bekicot, Pomacea ensularis canaliculata (keong emas). Binatang tersebut memiliki tubuh yang lunak dan dilindungi oleh cangkok (shell) yang keras. Pada bagian anterior dijumpai dua pasang antene yang masing-masing ujungnya terdapat mata. Pada ujung anterior sebelah bawah terdapat alat mulut yang dilengkapi dengan gigi parut (radula). Lubang genetalia terdapat pada bagian samping sebelah kanan, sedang anus dan lubang pernafasan terdapat di bagian tepi mantel tubuh dekat dengan cangkok/shell.

Bekicot atau siput bersifat hermaprodit, sehingga setiap individu dapat menghasilkan sejumlah telur fertil. Bekicot aktif pada malam hari serta hidup baik pada kelembaban tinggi. Pada siang hari biasanya bersembunyi pada tempat-tempat terlindung atau pada dinding-dinding bangunan, pohon atau tempat lain yang tersembunyi.


C. FILUM CHORDATA

Anggota Filum Chordata yang umum dijumpai sebagai hama tanaman adalah dari klas Mammalia (Binatang menyusui). Namun, tidak semua binatang anggota klas Mammalia bertindak sebagai hama melainkan hanya beberapa jenis (spesies) saja yang benar - benar merupakan hama tanaman. Jenis - jenis tersebut antara lain bangsa kera (Primates), babi (Ungulata), beruang (Carnivora), musang (Carnivora) serta bangsa binatang pengerat (ordo rodentina). Anggota ordo Rodentina ini memiliki peranan penting sebagai perusak tanaman, sehingga secara khusus perlu dibicarakan tersendiri, yang meliputi keluarga bajing dan tikus.

 1. Keluarga Bajing (fam. Sciuridae)

Ada dua jenis yang penting, yaitu Callossciurus notatus Bodd. dan C. nigrovittatus yang keduanya dikenal dengan nama “bajing”. Jenis pertama dijumpai pada daerah - daerah di Indonesia dengan ketinggian sampai 9000 m di atas permukaan laut. Sedang jenis C. nigrovittatus dapat dijumpai di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera pada daerha dengan ketinggian sampai 1500 m.

Jenis bajing ini umumnya banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman kelapa namun beberapa jenis tanaman buah kadang - kadang juga diserangnya. Gejala serangan hama bajing pada buah kelapa tampak terbentuknya lubang yang cukup lebar dan tidak teratur dekat dengan ujung buah, sedang jika yang menyerang tikus maka lubang yang terbentuk lebih kecil serta tampak lebih teratur / rapi.

2. Keluarga tikus (fam. Muridae)

Ada beberapa jenis yang diketahui banyak menimbulkan kerusakan antara lain, tikus rumah (Rattus - rattus diardi Jent); tikus pohon (Rattus - rattus tiomanicus Muller), serta tikus sawah (Rattus-rattus argentiver_Rob.&Kl).

Tikus rumah dikenal pula sebagai tikus hitam karena warna bulunya hitam keabu - abuan atau hitam kecoklatan. Panjang tubuh sampai ke kepala antara 11 - 20 cm dan panjang ekor biasanya lebih panjang daripada panjang tubuh + kepala. Jumlah puting susunya ada 10 buah.

Tikus pohon memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan tikus rumah. Bulu tubuh bagian ventral putih bersih atau kadang - kadang agak keabu-abuan. Panjang ekor biasanya lebih panjang daripada panjang tubuh + kepala. Jumlah putting susunya ada 10 buah.

 Tikus sawah memiliki ciri - ciri tubuh antara lain bulu - bulu tubuh bagian ventral berwarna keabu-abuan atau biru keperakan. Panjang ekor biasanya sama atau lebih pendek daripada panjang tubuh + kepala. Pada pertumbuhan penuh panjang tubuhnya antara 16 - 22 cm serta jumlah puting susu ada 12 buah.

D. FILUM ARTHOPODA

 Merupakan filum terbesar di antara filum - filum yang lain karena lebih dari 75 % dari binatang-binatanag yang telah dikenal merupakan anggota dari filum ini. Karena itu, sebagian besar dari jenis-jenis hama tanaman juga termasuk dalam filum Arthropoda.

Anggota dari filum Arthropoda yang mempunyai peranan penting sebagai hama tanaman adalah klas Arachnida (tunggau) dan klas Insecta atau Hexapoda (serangga).

1. Klas Arachnida

Tanda - tanda morfologi yang khas dari anggota klas Arachnida ini adalah:

 - Tubuh terbagi atas dua daerah (region), yaitu cephalothorax (gabungan caput dan thorax) dan abdomen.

 - Tidak memiliki antene dan mata facet.

- Kaki empat pasang dan beruas - ruas.

Dalam klas Arachnida ini, yang anggotanya banyak berperan sebagai hama adalah dari ordo Acarina atau juga sering disebut mites (tunggau).

Morfologi dari mites ini antara lain, segmentasi tubuh tidak jelas dan dilengkapi dengan bulu - bulu (rambut) yang kaku dan cephhalothorax dijumpai adanya empat pasang kaki.

Alat mulut tipe penusuk dan pengisap yang memiliki bagian - bagian satu pasang chelicerae (masing - masing terdidi dari tiga segmen) dan satu pasang pedipaalpus. Chelicerae tersebut membentuk alat seperti jarum sebagai penusuk.

Beberapa jenis hama dari ordo Acarina antara lain adalah :

- Tetranychus cinnabarinus Doisd. atau hama tunggau merah / jingga pada daun ketela pohon.

 - Brevipalpus obovatus Donn. (tunggau daun teh).

- Tenuipalpus orchidarum Parf. (tunggau merah pada anggrek).

2. Klas Insekta (Hexapoda / serangga) Anggota beberapa ordo dari klas Insekta dikenal sebagai penyebab hama tanaman, namun ada beberapa yang bertindak sebagai musuh alami hama (parasitoid dan predator) serta sebagai serangga penyerbuk. Secara umum morfologi anggota klas Insekta ini adalah:

- Tubuh terdiri atas ruas - ruas (segmen) dan terbagi dalam tiga daerah, yaitu caput, thorax dan abdomen.

- Kaki tiga pasang, pada thorax.

- Antene satu pasang.

 - Biasanya bersayap dua pasang, namun ada yang hanya sepasang atau bahkan tidak bersayap sama sekali.

Memahami pengetahuan morfologi serangga tersebut sangatlah penting, karena anggota serangga pada tiap - tiap ordo biasanya memiliki sifat morfologi yang khas yang secara sederhana dapat digunakan untuk mengenali atau menentukan kelompok serangga tersebut. Sifat morfologi tersebut juga menyangkut morfologi serangga stadia muda, karena bentuk-bentuk serangga muda tersebut juga memiliki ciri yang khas yang juga dapat digunakan dalam identifikasi. Bentuk-bentuk serta ciri serangga stadia muda tersebut secara khusus kakan dibicarakan pada uraian tentang Metamorfose serangga, sedang uraian singkat tentang morfologi “penciri” pada beberapa ordo penting klas Insekta akan diberikan pada uraian selanjutnya. Berdasarkan sifat morfologinya, maka larva dan pupa serangga dapat dikelompokkan sebagai berikut :

 1. Tipe larva

a. Polipoda, tipe larva ini memiliki ciri antara lain tubuh berbentuk silindris, kepala berkembang baik serta dilengkapi dengan kaki abdominal dan kaki thorakal. Tipe larva ini dijumpai pada larva ngengat / kupu (Lepidoptera)

 b. Oligopoda, tipe larva ini dapat dikelompokkan menjadi : Campodeiform dan Scarabaeiform,

c. Apodus (Apodous), tipe larva ini memiliki badan yang memanjang dan tidak memiliki kaki. Kepala ada yang berkembang baik ada yang tidak. Tipe larva ini dijumpai pada anggota ordo Diptera dan familia Curculionidae (Coleoptera).

2. Tipe pupa Perbedaan bentuk pupa didasarkan pada kedudukan alat tambahan (appendages), seperti calon sayap, calon kaki, antene dan lainnya. Tipe pupa dikelompokkan menjadi tiga tipe :

a. Tipe obtecta, yakni pupa yang memiliki alat tambahan (calon) melekat pada tubuh pupa. Kadang-kadang pupa terbungkus cocon yang dibentuk dari liur dan bulu dari larva.

b. Tipe eksarat, yakni pupa yang memiliki alat tambahan bebas (tidak melekat pada tubuh pupa ) dan tidak terbungkus oleh cocon.

 c. Tipe coartacta, yakni pupa yang mirip dengan tipe eksarat, tetapi eksuviar tidak mengelupas (membungkus tubuh pupa). Eksuviae mengeras dan membentuk rongga untuk membungkus tubuh pupa dan disebut puparium.

Tipe pupa obtecta dijumpai pada anggota ordo Lepidoptera, pupa eksarat pada ordo Hymenoptera dan Coleoptera, sedang pupa coartacta pada ordo Diptera.

A. Morfologi Beberapa Ordo Serangga yang Penting

 a. Ordo Orthoptera (bangsa belalang)

Sebagian anggotanya dikenal sebagai pemakan tumbuhan, namun ada beberapa di antaranya yang bertindak sebagai predator pada serangga lain.

Anggota dari ordo ini umumnya memilki sayap dua pasang. Sayap depan lebih sempit daripada sayap belakang dengan vena - vena menebal / mengeras dan disebut tegmina. Sayap belakang membranus dan melebar dengan vena-vena yang teratur. Pada waktu istirahat sayap belakang melipat di bawah sayap depan.

Alat - alat tambahan lain pada caput antara lain : dua buah (sepasang) mata facet, sepasang antene, serta tiga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta tiga pasang kaki terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran alat pendengar yang disebut tympanum. Spiralukum yang merupakan alat pernafasan luar terdapat pada tiap - tiap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen).

Ada mulutnya bertipe penggigit dan penguyah yang memiliki bagian-bagian labrum, sepasang mandibula, sepasang maxilla dengan masing - masing terdapat palpus maxillarisnya, dan labium dengan palpus labialisnya.

Metamorfose sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur ---> nimfa ---> dewasa (imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya.

Beberapa jenis serangga anggota ordo Orthoptera ini adalah :

- Kecoa (Periplaneta sp.)

 - Belalang sembah / mantis (Otomantis sp.)

 - Belalang kayu (Valanga nigricornis Drum.)

b. Ordo Hemiptera (bangsa kepik) / kepinding

Ordo ini memiliki anggota yang sangat besar serta sebagian besar anggotanya bertindak sebagai pemakan tumbuhan (baik nimfa maupun imago). Namun beberapa di antaranya ada yang bersifat predator yang mingisap cairan tubuh serangga lain.

Umumnya memiliki sayap dua pasang (beberapa spesies ada yang tidak bersayap). Sayap depan menebal pada bagian pangkal (basal) dan pada bagian ujung membranus. Bentuk sayap tersebut disebut Hemelytra. Sayap belakang membranus dan sedikit lebih pendek daripada sayap depan. Pada bagian kepala dijumpai adanya sepasang antene, mata facet dan occeli.

Tipe alat mulut pencucuk pengisap yang terdiri atas moncong (rostum) dan dilengkapi dengan alat pencucuk dan pengisap berupa stylet. Pada ordo Hemiptera, rostum tersebut muncul pada bagian anterior kepala (bagian ujung). Rostum tersebut beruas - ruas memanjang yang membungkus stylet. Pada alat mulut ini terbentuk dua saluran, yakni saluran makanan dan saluran ludah.

Metamorfose bertipe sederhana (paurometabola) yang dalam perkembangannya melalui stadia : telur ---> nimfa ---> dewasa. Bnetuk nimfa memiliki sayap yang belum sempurna dan ukuran tubuh lebih kecil dari dewasanya.

Beberapa contoh serangga anggota ordo Hemiptera ini adalah : - Walang sangit (Leptorixa oratorius Thumb.) - Kepik hijau (Nezara viridula L) - Bapak pucung (Dysdercus cingulatus F)

c. Ordo Homoptera (wereng, kutu dan sebagainya)

 Anggota ordo Homoptera memiliki morfologi yang mirip dengan ordo Hemiptera. Perbedaan pokok antara keduanya antara lain terletak pada morfologi sayap depan dan tempat pemunculan rostumnya.

Sayap depan anggota ordo Homoptera memiliki tekstur yang homogen, bisa keras semua atau membranus semua, sedang sayap belakang bersifat membranus.

Alat mulut juga bertipe pencucuk pengisap dan rostumnya muncul dari bagian posterior kepala. Alat-alat tambahan baik pada kepala maupun thorax umumnya sama dengan anggota Hemiptera.

Tipe metamorfose sederhana (paurometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur ---> nimfa ---> dewasa. Baik nimfa maupun dewasa umumnya dapat bertindak sebagai hama tanaman. Serangga anggota ordo Homoptera ini meliputi kelompok wereng dan kutu-kutuan, seperti : - Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) - Kutu putih daun kelapa (Aleurodicus destructor Mask.) - Kutu loncat lamtoro (Heteropsylla sp.).

 d. Ordo Coleoptera (bangsa kumbang)

 Anggota - anggotanya ada yang bertindak sebagai hama tanaman, namun ada juga yang bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi serangga lain.

 Sayap terdiri dari dua pasang. Sayap depan mengeras dan menebal serta tidak memiliki vena sayap dan disebut elytra. Apabila istirahat, elytra seolah - olah terbagi menjadi dua (terbelah tepat di tengah-tengah bagian dorsal). Sayap belakang membranus dan jika sedang istirahat melipat di bawah sayap depan.

Alat mulut bertipe penggigit-pengunyah, umumnya mandibula berkembang dengan baik. Pada beberapa jenis, khususnya dari suku Curculionidae alat mulutnya terbentuk pada moncong yang terbentuk di depan kepala.

Metamorfose bertipe sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur ---> larva ---> kepompong (pupa) ---> dewasa (imago). Larva umumnya memiliki kaki thoracal (tipe oligopoda), namun ada beberapa yang tidak berkaki (apoda). Kepompong tidak memerlukan pakan dari luar (istirahat) dan bertipe bebas / libera. Beberapa contoh anggotanya adalah : - Kumbang badak (Oryctes rhinoceros L) - Kumbang janur kelapa (Brontispa longissima Gestr) - Kumbang buas (predator) Coccinella sp.

e. Ordo Lepidoptera (bangsa kupu/ngengat)

Dari ordo ini, hanya stadium larva (ulat) saja yang berpotensi sebagai hama, namun beberapa diantaranya ada yang predator. Serangga dewasa umumnya sebagai pemakan/pengisap madu atau nektar.

Sayap terdiri dari dua pasang, membranus dan tertutup oleh sisik - sisik yang berwarna - warni. Pada kepala dijumpai adanya alat mulut seranga bertipe pengisap, sedang larvanya memiliki tipe penggigit. Pada serangga dewasa, alat mulut berupa tabung yang disebut proboscis, palpus maxillaris dan mandibula biasanya mereduksi, tetapi palpus labialis berkembang sempurna.

Metamorfose bertipe sempurna (Holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur ---> larva ---> kepompong ---> dewasa. Larva bertipe polipoda, memiliki baik kaki thoracal maupun abdominal, sedang pupanya bertipe obtekta.

 Beberapa jenisnya antara lain :

 - Penggerek batang padi kuning (Tryporiza incertulas Wlk)

 - Kupu gajah (Attacus atlas L)

- Ulat grayak pada tembakau (Spodoptera litura)

f. Ordo Diptera (bangsa lalat, nyamuk)

 Serangga anggota ordo Diptera meliputi serangga pemakan tumbuhan, pengisap darah, predator dan parasitoid. Serangga dewasa hanya memiliki satu pasang sayap di depan, sedang sayap belakang mereduksi menjadi alat keseimbangan berbentuk gada dan disebut halter. Pada kepalanya juga dijumpai adanya antene dan mata facet.

Tipe alat mulut bervariasi, tergantung sub ordonya, tetapi umumnya memiliki tipe penjilat-pengisap, pengisap, atau pencucuk pengisap.

Pada tipe penjilat pengisap alat mulutnya terdiri dari tiga bagian yaitu :

- bagian pangkal yang berbentuk kerucut disebut rostum

 - bagian tengah yang berbentuk silindris disebut haustellum

 - bagian ujung yang berupa spon disebut labellum atau oral disc.

Metamorfosenya sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur ---> larva ---> kepompong ---> dewasa. Larva tidak berkaki (apoda_ biasanya hidup di sampah atau sebagai pemakan daging, namun ada pula yang bertindak sebagai hama, parasitoid dan predator. Pupa bertipe coartacta.

Beberapa contoh anggotanya adalah :

 - lalat buah (Dacus spp.)

- lalat predator pada Aphis (Asarcina aegrota F)

- lalat rumah (Musca domesticaLinn.)

- lalat parasitoid (Diatraeophaga striatalis).

g. Ordo Hymenoptera (bangsa tawon, tabuhan, semut)

Kebanyakan dari anggotanya bertindak sebagai predator / parasitoid pada serangga lain dan sebagian yang lain sebagai penyerbuk.

Sayap terdiri dari dua pasang dan membranus. Sayap depan umumnya lebih besar daripada sayap belakang. Pada kepala dijumpai adanya antene (sepasang), mata facet dan occelli.

Tipe alat mulut penggigit atau penggigit-pengisap yang dilengkapi flabellum sebagai alat pengisapnya.

Metamorfose sempurna (Holometabola) yang melalui stadia : telur-> larva--> kepompong ---> dewasa. Anggota famili Braconidae, Chalcididae, Ichnemonidae, Trichogrammatidae dikenal sebagai tabuhan parasit penting pada hama tanaman.

Beberapa contoh anggotanya antara lain adalah :

 - Trichogramma sp. (parasit telur penggerek tebu / padi).

- Apanteles artonae Rohw. (tabuhan parasit ulat Artona).

 - Tetratichus brontispae Ferr. (parasit kumbang Brontispa).

 h. Ordo Odonata (bangsa capung / kinjeng)

 Memiliki anggota yang cukup besar dan mudah dikenal. Sayap dua pasang dan bersifat membranus. Pada capung besar dijumpai vena - vena yang jelas dan pada kepala dijumpai adanya mata facet yang besar.

Metamorfose tidak sempurna (Hemimetabola), pada stadium larva dijumpai adanya alat tambahan berupa insang dan hidup di dalam air.

Anggota-anggotanya dikenal sebagai predator pada beberapa jenis serangga keecil yang termasuk hama, seperti beberapa jenis trips, wereng, kutu loncat serta ngengat penggerek batang padi.


RANGKUMAN

Mengenal sifat - sifat morfologi luar dari binatang penyebab hama merupakan hal yang penting untuk mempermudah mengenali jenis - jenis hama yang ada di lapangan. Ada beberapa filum dalam dunia binatang yang sebagian dari anggotanya berpotensi menjadi hama tanaman, yakni Filum Aschelminthes, Mollusca, Chordata dan Athropoda.

Dalam filum Aschelminthes, anggota klas nematoda banyak yang berperan sebagai hama tanaman, misalnya anggota dari ordo Tylenchida, “Giantsnail”, Achatina fulica merupakan salah satu anggota filum Mollusca yang diketahui sering merusak berbegai jenis tanaman, baik tahunan maupun tanaman semusim.

Anggota ordo Rodentia, yakni tikus dan bajing merupakan anggota filum Chordata yang menjadi hama penting pada beberapa jenis tanaman. Anggota filum Chordata lain yang juga berpotensi menjadi hama tanaman adalah kera (Primates) dan babi (Ungulata).

Arthropoda merupakan filum terbesar dalam jumlah anggotanya, sehingga sebagian besar jenis hama tanaman merupakan anggota filum ini. Namun demikian, anggota filum ini khususnya dalam klas Arachida sebagian besar bertindak sebagai musuh alami hama, sedang dari klas Insekta sebagian dari anggotanya menjadi hama penting pada berbagai jenis tanaman dan yang lain ada pula yang berperan sebagai musuh alami hama.

2. CARA MERUSAK DAN GEJALA KERUSAKAN

 Pembicaraan mengenai cara merusak dan gejala merusak yang diakibatkan oleh serangan hama khususnya dari serangga tidak dapat lepas dari pembicaraan mengenai morfologi alat mulut serangga hama. Dengan tipe alat mulut tertentu, serangga hama dalam merusak tanaman akan mengakibatkan gejala kerusakan yang khas pada tanaman yang diserangnya. Karena itu, dengan mempelajari berbagai tipe gejala ataupun tanda serangan akan dapat membantu dalam mengenali jenis - jenis hama penyebab yang dijumpai di lapangan. Bahkan lebih jauh dari itu dapat pula digunakan untuk menduga cara hidup ataupun untuk menaksir populasi hama yang bersangkutan.

Berdasarkan pada cara merusak dan gejala kerusakan yang ditimbulkannya, maka hama-hama penyebab kerusakan pada tanaman dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu hama penyebab gejala puru (gall), hama pemakan, hama penggerek, hama pengisap, hama penggulung, hama penyebab busuk buah, dan hama pengorok (miner)

RANGKUMAN

Jenis - jenis serangga dapat dikelompokkan berdasarkan tipe alat mulutnya. Dengan tipe alat mulut tertentu, perusakan tanaman oleh serangga akan meninggalkan gejala kerusakan yang khas pada tanaman. Oleh karena itu, dengan mempelajari berbagai tipe gejala serangan akan memepermudah untuk mengetahui jenis hama penyebab kerusakan yang dijumpai di lapangan. Gejala kerusakan dalam bentuk intensitas serangan hama dapat juga digunakan untuk menduga tingkat populasi hama di lapangan.

Berdasarkan cara merusak dan tipe gejala, ada tujuh tipe yaitu hama penyebab puru (gall), hama pemakan, hama penggerek, hama pengisap, hama penggulung, hama penyebab busuk buah dan hama penggorok (miner).


3. TAKTIK PENGENDALIAN

 Pada dasarnya, pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari dan membunuh spesies hama agar populasinya tidak mencapai aras yang secara ekonomi merugikan. Pengendalian hama tidak dimaksudkan untuk meenghilangkan spesies hama sampai tuntas, melainkan hanya menekan populasinya sampai pada aras tertentu ynag secara ekonomi tidak merugikan. Oleh karena itu, taktik pengendalian apapun yang diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan secara ekologi.

Falsafah pengendalian hama yang harus digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian hama Terpadu (PHT) yang dalam implementasinya tidak hanya mengandalkan satu taktik pengendalian saja. Taktik pengendalian yang akan diuraikan berikut ini mengacu pada buku karangan Metcalf (1975) dan Matsumura (1980) yang terdiri dari :

1. Pengendalian secara mekanik
2. Pengendalian secara fisik
3. Pengendalian hayati
4. Pengendalian dengan varietas tahan
5. Pengendalian hama dengan cara bercocok tanam
6. Pengendalian hama dengan sanitasi dan eradikasi
7. Pengendalian kimiawi


A. PENGENDALIAN MEKANIK

Pengendalian mekanik mencakup usaha untuk menghilangkan secara langsung hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat manual.

 Mengambil hama yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung atau dengan melibakan tenaga manusia telah banyak dilakukan oleh banyak negara pada permulaan abad ini. Cara pengendalian hama ini sampai sekarang masih banyak dilakukan di daerah - daerah yang upah tenaga kerjanya masih relatif murah.

Contoh pengendalian mekanis yang dilakukan di Australia adalah mengambil ulat-ulat atau siput secara langsung yang sedang menyerang tanaman kubis. Pengendalian mekanis juga telah lama dilakukan di Indonesia terutama terhadap ulat pucuk daun tembakau oleh Helicoverpa sp. Untuk mengendalikan hama ini para petani pada pagi hari turun ke sawah untuk mengambil dan mengumpulkan ulat - ulat yang berada di pucuk tembakau. Ulat yang telah terkumpul itu kemudian dibakar atau dimusnahkan. Rogesan sering dipraktekkan oleh petani tebu (di Jawa) untuk mencari ulat penggerek pucuk tebu (Scirpophaga nivella) dengan mengiris sedikit demi sedikit pucuk tebu yang menunjukkan tanda serangan. Lelesan dilakukan oleh petani kopi untuk menyortir buah kopi dari lapangan yang terserang oleh bubuk kopi (Hypotheneemus hampei)


B. PENGENDALIAN FISIK

Pengendalian ini dilakukan dengan cara mengatur faktor - faktor fisik yang dapat mempengaruhi perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu yang menyebabkan hama sukar untuk hidup.

 Bahan - bahan simpanan sering diperlakukan denagn pemanasan (pengeringan) atau pendinginan. Cara ini dimaksudkan untuk membunuh atau menurunkan populasi hama sehingga dapat mencegah terjadinya peledakan hama. Bahan-bahan tersebut biasanya disimpan di tempat yang kedap udara sehingga serangga yang bearada di dalamnya dapat mati lemas oleh karena CO2 dan nitrogen.

 Pengolahan tanah dan pengairan dapat pula dimasukkan dalam pengendalian fisik; karena cara - cara tersebut dapat menyebabkan kondisi tertentu yang tidak cocok bagi pertumbuhan serangga. Untuk mengendalikan nematoda dapat dilakukan dengan penggenangan karena tanah yang mengandung banyak air akan mendesak oksigen keluar dari partikel tanah. Dengan hilangnya kandungan O2 dalam tanah, nematoda tidak dapat hidup lebih lama.


C. PENGENDALIAN HAYATI

Pengendalian hayati adalah pengendalian hama dengan menggunakan jenis organisme hidup lain (predator, parasitoid, pathogen) yang mampu menyerang hama. Di suatu daerah hampir semua serangga dan tunggau mempunyai sejumlah musuh - musuh alami. Tersedianya banyak makanan dan tidak adanya agen - agen pengendali alami akan menyebabkan meningkatnya populasi hama. Populasi hama ini dapat pula meningkat akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak tepat sehingga dapat membunuh musuh-musuh alaminya. Sebagai contoh, meningkatnya populasi tunggau di Australia diakibatkan meningkatnya penggunaan DDT.

Dua jenis organisme yang digunakan untuk pengendalian hayati terhadap serangga dan tunggau adalah parasit dan predator. Parasit selalu berukuran lebih kecil dari organisme yang dikendalikan oleh (host), dan parasit ini selama atau sebagian waktu dalam siklus hidupnya berada di dalam atau menempel pada inang. Umumnya parsit merusak tubuh inang selama peerkembangannya. Beberapa jenis parasit dari anggota tabuhan (Hymenoptera), meletakkan telurnya didalam tubuh inang dan setelah dewasa serangga ini akan meninggalkan inang dan mencari inang baru untuk meletakkan telurnya.

 Sebaliknya predator mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar sari serangga yang dikendalikan (prey), dan sifat predator secara aktif mencari mangsanya, kemudian memakan atau mengisap cairan tubuh mangsa sampai mati. Beberapa kumbang Coccinella merupakan predator aphis atau jenis serangga lain yang baik pada fase larva maupun dewasanya. Contoh lain serangga yang bersifat sebagai predator adalah Chilocorus, serangga ini sekarang telah dimanfaatkan sebagai agensia pengendali hayati terhadap hama kutu perisai (Aspidiotus destructor) pada tanaman kelapa.

Agar predator dan tanaman ini sukses sebagai agen pengendali biologis terhadap serangga, maka harus dapat beradaptasi dulu dengan lingkungan tempat hidup serangga hama. Predator dan parasit itu harus dapat beradaptasi dengan cepat pada lingkungan yang baru. Parasit dan predator juga harus bersifat spesifik terhadap hama dan mampu mencari dan membunuhnya.

Parasit harus mempunyai siklus hidup yang lebih pendek daripada inangnya dan mampu berkembang lebih cepat dari inangnya. Siklus hidup parasit waktunya harus sinkron dengan inangnya sehingga apabila saat populasi inang meningkat maka saat peningkatan populasi parasit tidak terlambat datangnya. Predator tidak perlu mempunyai siklus hidup yang sama dengan inangnya, karena pada umumnya predator ini mempunyai siklus hidup yang lebih lama daripada inangnya dan setiap individu predator mampu memangsa beberapa ekor hama.

Baik parasit maupun predator mempunyai ratio jantan dan betina yang besar, mempunyai keperidian dan kecepatan hidup yang tinggi serta memiliki kemampuan meenyebar yang cepat pada suatu daerah dan serangga - serangga itu secara efektif mampu mencari inang atau mangsanya.

 Beberapa parasit fase dewasa memerlukan polen dan nektar, sehingga untuk pelepasan dan pengembangan parasit pada suatu daerah, yang perlu diperhatikan adalah daerah tersebut banyak tersedia polen dan nektar yang nanti dapat digunakan sebagai pakan tambahan.

Parasit yang didatangkan dari suatu daerah, mula - mula dipelihara dahulu di karantina selama beberapa saat agar serangga ini mampu beradaptasi dan berkembang. Selama pemeliharaan di dalam karantina, serangga-serangga ini dapat diberi pakan dengan pakan buatan atau mungkin dapat pula digunakan inangnya yang dilepaskan pada tempat pemeliharaan. Setelah dilepaskan di lapangan populasi parasit ini harus dapat dimonitor untuk mengetahui apakah parasit iru sudah mapan, menyebar dan dapat berfungsi sebagai agen pengendali biologis yang efektif; dan bila memungkinkan serangga ini mampu mengurangi populasi hama relatif lebih cepat dalam beberapa tahun.

Contoh pengendalian biologis yang pernah dilakukan di Australia adalah pengendalian Aphis dengan menggunakan tabuhan chalcid atau pengendalian kutu yang menyerang jeruk dengan menggunakan tabuhan Aphytes.

Selain menggunakan parasit dan predator, untuk menekan populasi serangga hama dapat pula memanfaatkan beberapa pathogen penyebab penyakit pada serangga. Seperti halnya dengan binatang lain, serangga bersifat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cendawan, virus dan protozoa. Pada kondisi lingkungan yang cocok beberapa jenis penyakit akan menajdi wabah epidemis. Penyakit tersebut secara drastis mampu menekan populasi hama hanya dalam beberapa hari.

 Beberapa jenis bakteri, misal Bacillus thuringiensis secara komersial diperdagangkan dalam bentuk spora, dan bakteri ini dipergunakan untuk menyemprot tanaman seperti halnya insektisida. Yang bersifat rentan terhadap bahan ini adalah fase ulat, dan bilamana ulat-ulat itu makan spora, maka akhirnya bakteri akan berkembang di dalam usus serangga hama, akhirnya bakteri itu menembus usus dan masuk ke dalam tubuhnya, sehingga akhirnya larva akan mati.

 Jamur dapat pula digunakan untuk mengendalikan serangga hama, sebagai contoh Entomorpha digunakan untuk mengendalikan Aphis yang menyerang alfafa; spesies Beauveria untuk mengendalikan ulat dan Metarrhizium anisopliae sekarang sudah dikembangkan secara masal dengan medium jagung. Jamur ini digunakan untuk mengendalikan larva Orycetes rhinoceros yang imagonya merupakan penggerek pucuk kelapa.

Lebih dari 200 jenis virus mampu menyerang serangga. Jenis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama adalah Baculovirus untuk menekan populasi Orycetes rhinoceros; Nuclear polyhidrosis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama Heliothis zeae pada tongkol jagung, bahan tersebut telah banyak digunakan di AS, Eropa dan Australia. Virus tersebut masuk dan memperbanyak diri dalam sel inang sebelum menyebar ke seluruh tubuh. Inti dari sel - sel yang terserang menjadi besar, kemudian virus tersebut menuju ke rongga tubuh akhirnya inang akan mati.

Metode pengelolaan agen pengendali biologi terhadap serangga hama meliputi :

1. Introduksi, yakni upaya mendatangkan musuh alami dari luar (exotic) ke wilayah yang baru (ada barier ekologi).

2. Konservasi, yakni upaya pelestarian keberadaan musuh alami di suatu wilayah dengan antara lain melalui pengelolaan habitat.

3. Augmentasi, parasit dan predator lokal yang telah ada diperbanyak secara massal pada kondisi yang terkontrol di laboratorium sehingga jumlah agensia sangat banyak, sehingga dapat dilepas ke lapangan dalam bentuk pelepasan inundative.


D. PENGENDALIAN DENGAN VARIETAS TAHAN

Beberapa varietas tanaman tertentu kuran dapat diserang oleh serangga hama atau kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan varietas lain. Varietas tahan tersebut mempunyai satu atau lebih sifat-sifat fisik atau fisiologis yang memungkinkan tanaman tersebut dapat melawan terhadap serangan hama.

Mekanisme ketahanan tersebut secara kasar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Toleransi

Tanaman yang memiliki kemampuan melawan serangan serangga dan mampu hidup terus serta tetap mampu berproduksi, dapat dikatakan sebagai tanaman yang toleran terhadap hama. Toleransi ini sering juga tergantung pada kemampuan tanaman untuk mengganti jaringan yang terserang, dan keadaan ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dan kerapatan hama yang menyerang pada suatu saat.

2. Antibiosis

Tanaman - tanaman yang mengandung toksin (racun) biasanya memberi pengaruh yang kurang baik terhadap serangga. Tanaman yang demikian dikatakan bersifat antibiosis. Tanaman ini akan mempengaruhi banyaknya bagian tanaman yang dimakan hama, dapat menurutkan kemampuan berkembang biak dari hama dan memperbesar kematian serangga. Tanaman kapas yang mengandung senyawa gossypol dengan kadar tinggi mempunyai ketahanan yang lebih baik bila dibandingkan dengan yang mengandung kadar yang lebih rendah, karena bahan kimia ini bekerja sebagai antibiosis terhadap jenis serangga tertentu.

3. Non prefens

Jenis tanaman tertentu mempunyai sifat fisik dan khemis yang tidak disukai serangga. Sifat - sifat tersebut dapat berupa tekstur, warna, aroma atau rasa dan banyaknya rambut sehingga menyulitkan serangga untuk meletakkan telur, makan atau berlindung. Pada satu spesies tanaman dapat pula terjadi bahwa satu tanaman kurang dapat terserang serangga dibanding yang lain. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sifat yang ada sehingga dapat lebih menarik lagi bagi serangga untuk memakan atau meletakkan telur. Contoh pengendalian hama yang telah memanfaatkan varietas tahan adalah pengendalian terhadap wereng coklat pada tanaman padi, pengendalian terhadap kutu loncat pada lamtoro, pengendalian terhadap Empoasca pada tanaman kapas.


E. PENGENDALIAN HAMA DENGAN PENGATURAN CARA BERCOCOK TANAM

Pada dasarnya pengendalian ini merupakan pengendalian yang bekerja secara alamiah, karena sebenarnya tidak dilakukan pembunuhan terhadap hama secara langsung. Pengendalian ini merupakan usaha untuk mengubah lingkunagn hama dari keadaan yang cocok menjadi sebaliknya. Dengan mengganti jenis tanaman pada setiap musim, berarti akan memutus tersedianya makanan bagi hama-hama tertentu.

Sebagai contoh dalam pengendalian hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) diatur pola tanamnya, yakni setelah padi - padi, pada periode berikutnya supaya diganti dengan palawija. Cara ini dimaksudkan untuk menghentikan berkembangnya populasi wereng. Cara di atas dapat pula diterapkan pada hama lain, khususnya yang memiliki inang spesifik. Kebaikan dari pengendalian hama dengan mengatur pola tanam adalah dapat memperkecil kemungkinan terbentuknya hama biotipe baru. Cara - cara pengaturan pola tanam yang telah diterapkan pada pengendalian wereng coklat adalah :

a. Tanam serentak meliputi satu petak tersier (wikel) dengan selisih waktu maksimal dua minggu dan selisih waktu panen maksimal 4 minggu, atau dengan kata lain varietas yang ditanam relatif mempunyai umur sama. Dengan tanam serentak diharapkan tidak terjadi tumpang tindih generasi hama, sehingga lebih mudah memantau dan menjamin efektifitas pengendalian, karena penyemprotan dapat dilakukan serentak pada areal yang luas.

 b. Pergiliran tanaman meliputi areal minimal satu WKPP dengan umur tanaman relatif sama.

c. Pergiliran varietas tahan. Untuk daerah-daerah yang berpengairan baik, para petani pada ummnya akan menanam padi - padi sepanjang tahun. Kalau pola demikian tidak dapat diubah maka teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pergiliran varietas yang ditanam. Pada pengendalian ini diusahakan supaya digunakan varietas yang mempunyai tetua berbeda, dengan demikian dapat menghambat terbentuknya wereng biotipe baru.


 F. PENGENDALIAN HAMA DENGAN SANITASI DAN ERADIKASI Beberapa jenis hama mempunyai makanan, baik berupa tanaman yang diusahakan manusia maupun tanaman liar (misal rumput, semak - semak, gulam dan lain - lain). Pada pengendalian dengan cara sanitasi eradikasi dititikberatkan pada kebersihan lingkungan di sekitar pertanaman. Kebersihan lingkungan tidak hanya terbatas di sawah yang ada tanamannya, namun pada saat bero dianjurkan pula membersihkan semak-semak atau turiang-turiang yang ada. Pada musim kemarau sawah yang belum ditanami agar dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk membunuh serangga-serangga yang hidup di dalam tanah, memberikan pengudaraan (aerasi), dan membunuh rerumputan yang mungkin merupakan inang pengganti suatu hama tertentu.

Contoh pengendalian dengan eradikasi terhadap serangan hama wereng coklat adalah :

 a. Pada daerah serangan wereng coklat tetapi bukan merupakan daerah serangan virus, eradikasi dilakukan pada tanaman padi yang telah puso. Pada daerah serangan berat eradikasi hendaknya diikuti pemberoan selama 1 - 2 bulan atau mengganti dengan tanaman selain padi.

b. Pada daerah serangan hama wereng yang juga merupakan daerah serangan virus, eradikasi dilakukan sebagai berikut :

1). Eradikasi selektif dilakukan pada padi stadia vegetatif yang terserang virus dengan intensitas sama dengan atau kurang dari 25 % atau padi stadia generatif dengan intensitas serangan virus kurang dari 75 %.

2). Eradikasi total dilakukan terhadap pertanaman statdia vegetatif dengan intensitas serangan virus lebih besar dari 25 % atau pada padi stadia generatif dengan intensitas serangan virus lebih besar sama dengan 75 %. Cara melakukan eradikasi adalah dengan membabat tanaman yang terserang hama, kemudian membakar atau membenamkan ke dalam tanah.


G. PENGENDALIAN KIMIA

Bahan kimia akan digunakan untuk mengendalikan hama bilamana pengendalian lain yang telah diuarikan lebih dahulu tidak mampu menurunkan populasi hama yang sedang menyerang tanaman. Kelompok utama pestisida yang digunakan untuk mengendalikan serangga hama dengan tunggau adalah insektisida, akarisida dan fumigan, sedang jenis pestisida yang lain diberi nama masing-masing sesuai dengan hama sasarannya.

Dengan demikian penggolongan pestisida berdasar jasad sasaran dibagi menjadi :

a. Insektisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas jasad pengganggu yang berupa serangga. Contoh : Bassa 50 EC Kiltop 50 EC dan lain - lain.

b. Nematisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas jasad pengganggu yang berupa cacing - cacing parasit yang biasa menyerang akar tanaman. Contoh : Furadan 3 G.

c. Rodentisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas binatang - binatang mengerat, seperti misalnya tupai, tikus. Contoh : Klerat RM, Racumin, Caumatatralyl, Bromodoiline dan lain - lain.

d. Herbisida : adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulam (tanaman pengganggu). Contoh : Ronstar ODS 5 / 5 Saturn D.

e. Fungisida : digunakan untuk memberantas jasad yang berupa cendawan (jamur). Contoh : Rabcide 50 WP, Kasumin 20 AB, Fujiwan 400 EC, Daconil 75 WP, Dalsene MX 2000.

f. Akarisida : yaitu racun yang digunakan untuk mengendalikan jasad pengganggu yang berupa tunggau. Contoh : Mitac 200 EC, Petracrex 300 EC.

g. Bakterisida : yaitu racun yang digunakan untuk mengendalikan penykit tanaman yang disebabkan oleh bakteri. Contoh : Ffenazin - 5 - oksida (Staplex 10 WP). Insektisida dapat pula dibagi menurut jenis aktivitasnya. Kebanyakan insektisida bersifat racun bilamana bersentuhan langsung atau tertelan serangga. Namun ada pula jenis lain yang bersifat sebagai repelen (jenis ini digunakan untuk mencegah serangga yang akan menyerang tanaman), atraktan (bahan yang dapat menarik serangga, dengan demikian serangga yang terkumpul akan lebih mudah terbunuh), anti feedan (senyawa ini dapat menghindarkan dari serangan suatu serangga) dan khemosterilan (yang dapat menyebabkan kemandulan bagi serangga yang terkena). Menurut sifat kecepatan meracun, pestisida digolongkan menjadi :

1. Racun kronis : yaitu racun yang bekerjanya sangat lambat sehingga untuk mematikan hama membutuhkan waktu yang sangat lama. Contoh : racun tikus Klerat RMB.

2. Racun akut : adalah racun yang bekerjanya sangat cepat sehingga kematian serangga dapat segera diketahui setelah racun tersebut mengenai tubuhnya. Contoh : Bassa 50 EC, Kiltop 50 EC, Baycarb 50 EC dan lain - lain. Ditinjau dari cara bekerjanya, pestisida dibagi menjadi :

1. Racun perut

Racun ini terutama digunakan untuk mengendalikan serangga yang mempunyai tipe alat mulut pengunyah (ulat,belalang dan kumbang), namun bahan ini dapat pula digunakan terhadap hama yang menyerang tanaman dengan cara mengisap dan menjilat. Bahan insektisida ini disemprotkan pada bagian yang dimakan serangga sehingga racun tersebut akan tertelan masuk ke dalam usus, dan di sinilah terjadi peracunan dalam jumlah besar.

Ada 4 cara aplikasi racun perut terhadap serangga :

a. Insektisida diaplikasikan pada makanan alami serangga sehingga bahan tersebut termakan oleh serangga sasaran. Bahan makanan itu dapat berupa daun, bulu-bulu / rambut binatang. Dalam aplikasinya, bahan - bahan makanan serangga harus tertutup rata oleh racun pada dosis lethal sehingga hama yang makan dapat mati.

b. Insektisida dicampur dengan bahan atraktan dan umpan itu ditempatkan pada suatu lokasi yang mudah ditemukan serangga.

c. Insektisida ditaburkan sepanjang jalan yang bisa dilalui hama. Selagi hama itu lewat biasanya antene dan kaki akan bersentuhan dengan insektisida atau bahkan insektisida itu tertelan. Akibatnya hama mati.

d. Insektisida diformulasikan dalam bentuk sistemik, dan racun ini diserap oleh tanaman atau tubuh binatang piaraan kemudian tersebar ke seluruh bagian tanaman atau badan sehingga apabila serngga hama tersebut mengisap cairan tanaman atau cairan dari tubuh binatang (terutama hama yang mempunyai tipe mulut pengisap, misal Aphis) dan bila dosis yang diserap mencapai dosis lethal maka serangga akan mati.

2. Racun kontak

 Insektisida ini masuk ke dalam tubuh serangga melalui permukaan tubuhnya khususnya bagian kutikula yang tipis, misal pada bagian daerah perhubungan antara segmen, lekukan-lekukan yang terbentuk dari lempengan tubuh, pada bagian pangkal rambut dan pada saluran pernafasan (spirakulum). Racun kontak itu dapat diaplikasikan langsung tertuju pada jasad sasaran atau pada permukaan tanaman atau pada tempat - tempat tertentu yang biasa dikunjungi serangga. Racun kontak mungkin diformulasikan sebagai cairan semprot atau sebagai serbuk. Racun kontak yang telah melekat pada serangga akan segera masuk ke dalam tubuh dan disinilah mulai terjadi peracunan.

Yang digolongkan sebagai insektisida kontak adalah :

a. Bahan kimia yang berasal dari kestrak tanamaan, seperti misalnya nikotin, rotenon, pirethrum.
b. Senyawa sintesis organik, misal BHC, DDT, Chlordan, Toxaphene, Phosphat organik.
c. Minyak dan sabun.
d. Senyawa anorganik seperti misalnya Sulfur dan Sulfur kapur.

3. Racun pernafasan

 Bahan insektisida ini biasanya bersifat mudah menguap sehingga masuk ke dalam tubuh serangga dalam bentuk gas. Bagian tubuh yang dilalui adalah organ - organ pernafasan seperti misalnya spirakulum. Oleh karena bahan tersebut mudah menguap maka insektisida ini juga berbahaya bagi manusia dan binatang piaraan. Racun pernafasan bekerja dengan cara menghalangi terjadinya respirasi tingkat selulair dalam tubuh serangga dan bahan ini sering dapat menyebabkan tidak aktifnya enzim-enzim tertentu. Contoh racun nafas adalah : Hidrogen cyanida dan Carbon monoksida.

4. Racun Syaraf

Insektisida ini bekerja dengan cara menghalangi terjadinya transfer asetikholin estrase yang mempunyai peranan penting dalam penyampaian impul. Racun syaraf yang biasa digunakan sebagai insektisida adalah senyawa organo klorin, lindan, carbontetraclorida, ethylene diclorida : insektisida-insektisida botanis asli seperti misalnya pirethin, nikotin, senyawa organofosfat (parathion dan dimethoat) dan senyawa karbanat (methomil, aldicarb dan carbaryl).

5. Racun Protoplasmik

 Racun ini bekerja terutama dengan cara merusak protein dalam sel serangga. Kerja racun ini sering terjadi di dalam usus tengah pada saluran pencernaan.Golongan insektisida yang termasuk jenis ini adalah fluorida, senyawa arsen, borat, asam mineral dan asam lemak, nitrofenol, nitrocresol, dan logam - logam berat (air raksa dan tembaga).

6. Racun penghambat khitin

Racun ini bekerja dengan cara menghambat terbentuknya khitin. Insektisida yang termasuk jenis ini biasanya bekerja secara spesifik, artinya senyawa ini mempunyai daya racun hanya terhadap jenis serangga tertentu. Contoh : Applaud 10 WP terhadap wereng coklat.

8. Racun sistemik

 Insektisida ini bekerja bilamana telah terserap tanaman melalui akar, batang maupun daun, kemudian bahan-bahan aktifnya ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga bilamana serangga mengisap cairan atau memakan bagian tersebut akan teracun.

Pestisida adalah merupakan racun, baik bagi hama maupun tanaman yang disemprot. Mempunyai efek sebagai racun tanaman apabila jumlah yang disemprotkan tidak sesuai dengan aturan dan berlebihan (overdosis), karena keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya kebakarn tanaman. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang memadai namun pertumbuhan tanaman tidak terganggu, pemakaian pestisida hendaknya memperhatikan kesesuaiannya, baik tepat jenis, tepat waktu maupun tepat ukuran (dosis dan konsentrasi). Dosis adalah banyaknya pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama secara memadai pada lahan seluas 1 ha. Konsentrasi adalah banyaknya pestisida yang dilarutkan dalam satu liter air.

Untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat serta memperoleh efektifitas pengendalian yang tinggi maka oleh perusahaan pestisida, satu bahan aktif dibuat dalam bermacam-macam formulasi.

Tujuan dari formulasi ini adalah :

 1. Mempermudah penyimpanan.

2. Mempermudah penggunaan.

3. Mengurangi daya racun yang berlebihan.

Pestisida terbuat dari campuran antara dua bahan, yaitu bahan aktif (bahan pestisida yang mempunyai daya racun) dan bahan pembawa / inert (bahan pencampur yang tidak mempunyai daya racun). Macam-macam formulasi yang banyak dibuat oleh perusahaan pembuat pestisida adalah :

1. Formulasi dalam bentuk cairan

a. Cairan yang diemulsikan.

 Biasanya ditandai dengan kode EC (Emulsifeable Concentrate) yaitu cairan yang diemulsikan. Pestisida ini dalam bentuk asli berwarna bening setelah dicampur air akan membentuk emulsi yang berwarna putih susu. Contoh : Dharmabas 50 EC, Bassa 50 EC dan lain - lain.

b. Cairan yang dapat dilarutkan.

 Formulasi ini biasanya ditandai dengan kode WSC atau SCW yaitu kependekan dari Soluble Concentrated in Water. Pestisida ini bila dilarutkan dalam air tidak terjadi perubahan warna (tidak membentuk emulsi sehingga cairan tersebut tetap bening). Contoh : Azodrin 15 WSC.


2. Bentuk Padat

a. Berupa tepung yang dapat dilarutkan, dengan kode SP (Soluble Powder). Penggunaannya disemprotkan dengan sprayer. Contoh : Sevin 85 SP.

b. Berupa tepung yang dapat dibasahi dengan merek dagang WP (Weatable Powder). Pestisida ini disemprotkan dengan dicampur air. Karena sifatnya tidak larut sempurna, maka selama menyemprot seharusnya disertai dengan pengadukan secara terus-menerus.Contoh: Aplaud 10 WP.

c. Berupa butiran dengan kode G (Granulair). Aplikasi pestisida ini adalah dengan menaburkan atau membenamkan dekat. Contoh : Furadan 3 G, Dharmafur 3 G.

d. Campuran umpan (bait). Pestisida ini dicampur dengan bahan makanan yang disukai hama, kemudian diumpankan. Contoh : Klerat RMB.


RANGKUMAN

 Pengendalian hama merupakan upaya manusia untuk mengusir, menghindari dan membunuh secara langsung maupun tidak langsung terhadap spesies hama. Pengendalian hama tidak bermaksud memusnahkan spesies hama, melainkan hanya menekan sampai pada tingkat tertentu saja sehingga secara ekonomi dan ekologi dapat dipertanggungjawabkan.

Falsafah pengendalian hama yang digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT tidak pernah mengandalkan satu taktik pengendalian saja dalam memcahkan permasalahan hama yang timbul, melainkan dengan tetap mencari alternatif pengendalian yang lain.

Beberapa taktik pengendalian hama yang dikenal meliputi : taktik pengendalian secara mekanis, fisis, hayati, dengan varietas tahan, mengatur pola tanam, sanitasi dan eradikasi, dan cara kimiawi.

Rabu, 28 Maret 2012

Pengendalian Organisme Pengganggu Taanaman

I. PENDAHULUAN

 1.1 Latar Belakang

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang terdiri dari hama, penyakit dan gulma, merupakan kendala utama dalam budidaya tanaman. Organisme pengganggu tanaman ini pada suatu lahan pertanian sangat mengganggu laju pertumbuhan tanaman yang dibudidayakan, ini dikarenakan antara tanaman yang dibudidayakan dengan OPT ini bersaing untuk mendapatkan makanan, serat dan tempat perlindungan, maka dari itu untuk mengatasi masalah ini perlu dilakukan upaya pengendalian yang terpadu demi menjaga kualitas tanaman tersebut. Oleh karena itu pencarian teknologi pengendalian OPT terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan tuntutan sosial, ekonomi dan ekologi. Dalam suatu ekosistem pertanian antara tanaman dengan OPT saling berkesinambungan baik itu dari sisi positif maupun negatifnya. Van des Bosch (1990) mengemukakan pengendalian hama dan tindakan-tindakan pengelolaan sumberdaya lainnya adalah rancangan manipulasi ekosistem untuk melestarikan kualitas sumber daya, meningkatkan kesehatan dan kenyamanan manusia, atau mempertinggi produk makanan serat. Usaha ini memerlukan tenaga kerja, materi, energi dan modifikasi lingkungan. Tindakan pengendalian hama adalah keputusan yang di ambil secara sadar untuk memanfaatkan materi, energi dan tenaga untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu dan untuk melangkah lebih jauh ke prioritas-prioritas yang mungkin dicapai. Untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman ini dari tahun ke tahun mengalami revolusi, mulai dari cara tradisional, sampai penggunaan pestisida. Dengan dijalankan pengunaan pestisida yang kurang memperhatikan dampak penggunaannya terhadap ekosistem lingkungan pertanian , maka dibutuhkan cara efektif dan efisien yang dikenal pengendalian OPT terpadu. Cara ini memiliki dasar ekologis dan dan menyandarakan diri pada factor-faktor mortalitas alami seperti musuh alami dan cuaca serta mencari taktik pengendalian yang mendatangkan gangguan sekecil mungkin terhadap faktor-faktor tersebut.


II. TINJAUAN PUSTAKA

 2.1 Konsep Pengendalian OPT

 2.1.1 Pengendalian Hama

Organisme pengganggu tanaman ini terdiri dari hama, gulma dll. Untuk cara menanggulangi hama berbeda dengan gulma, untuk mengendalikan hama konsep pengendalian telah mengalami evolusi dari tahun ke tahun makin cangih dan sebagian besar menjadi makin efektif. Metode pertama kali yang digunakan dalam mengendalikan hama yang tidak diragukan lagi adalah menangkap, menapis atau memukul serangga dan invertebrata kecil lainnya. Contoh awal penggunaan konsep pengendalian OPT adalah penggenangan atau pembakaran lahan untuk memusnahakan gulma serangga dan hama invertebrata lainnya, serta pengunaan boneka sawah untuk mengusir burung-burung. pemanfaatan musuh alami untuk mengendalikan hama sudah dimulai beberapa ribu tahun sebelumnya. Meskipun demikian demonstrasi pentingya pendekatan ini baru terlihat pada pemanfaatan metode pengendalian biologi untuik melawan serangan kutu bersisik (cottony cushion scale). Tetapi kemudian muncul wacana penggunaan pestisida kimia, dengan konsep ini sedikit demi sedikit hama dapat dikendalikan, disamping mempunyai dampak positif terdapat pula dampak negatifnya yaitu penggunaan pestisida kimia pada lahan pertanian yang telah diketahui, diantaranya: mengakibatkan resistensi hama sasaran, gejala resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami, meningkatnya residu pada hasil, mencemari lingkungan, gangguan kesehatan bagi pengguna (Oka 1995), bahkan beberapa pestisida disinyalir memiliki kontribusi pada fenomena pemanasan global (global warming) dan penipisan lapisan ozon (Reynolds, 1997). Pengendalian hama dengan menggunakan insektisida, saja, memiliki pertimbangan yang kurang terhadap aspek-aspek lain dari sistem pertanian. Penyemprotan insektisida sering dilakukan berdasarkan kepada jadwal kalender dan tanpa pengetahuan tentang fenologi hama, kerapatan, dan potensi kerusakan. Penggunaan bahan kimia yang rendah biaya dan berdampak kuat ini telah menekan pengembangan mekanisme lain untuk pengendalian hama. Pendekatan ini juga telah merubah pola pikir petani dari melindungi tumbuhan pertanian menjadi membunuh serangga.

Praktek seperti ini hanya bertahan dalam waktu singkat, dan sejalan dengan perjalanan waktu akan muncul resistensi terhadap insektisida dan kemunculan masalah-masalah lain secara bertahap. Jadi, penting sekali untuk dipahami bahwa pengendalian hama pada dasarnya adalah masalah ekologi. Berikut beberapa konsep pengendalian hama yang berkembang dari tahun ke tahun:


A. Pengendalian Secara Bercocok Tanam

Pengendalian hama secara bercocok tanam atau pengendalian agronomic bertujuan untuk mengelola lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga lingkungan tersebut menjadi kurang cocok bagi kehidupan dan pembiakan hama sehingga dapat mengurangi laju peningkatan populasi dan peningkatan kerusakan tanaman. Kecuali itu pengelolaan lingkungan tanaman melalui teknik bercocok tanam ini juga ditujukan agar lingkungan tersebut dapat mendorong berfungsinya musuh alami secara efektif. Istilah pengendalian secara bercocok tanam atau dalam bahasa inggris cultural control sudah lama dikembangkan. Umumnya teknik bercocok tanam yang digunakan adalah teknik bertanam yang sudah ada dan kurang melihat perpaduannya dengan teknik lain seperti pemanfaatan musuh alami. Dalam rangka sistem PHT akhir-akhir ini teknik pengendalian secara bercocok tanam telah dikembangkan menjadi penghertian yang lebih luas yaitu pengelolaan ekologi. (Pedigo,1989).


Pengendalian secara bercocok tanam merupakan usaha pengendalian yang bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan hama terjadi dengan harapan agar populasi hama tidak meningkat sampai melebihi ambang pengendaliannya. Oleh karena itu, penerapan teknik ini perlu direncanakan jauh sebelumnya agar hasilnya memuaskan. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi hasil pengendalian teknik pengendalian secara bercocok tanam perlu dipadukan dengan teknik pengendalian hama lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Karena teknik pengendalian ini merupakan bagian teknik bercocok tanam yang umum untuk memperoleh produktivitas tinggi, petani tidak perlu mengeluarkan biaya khusus untuk pengendalian. Oleh karena itu, teknik pengendalian ini merupakan teknik pengendalian yang murah. Teknik pengendalian ini tidak mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan, dan mudah dikerjakan oleh petani baik secara perseorangan maupun secara kelompok.


 B. Pengendalian Dengan Tanaman Tahan Lama

Pengendalian hama dengan cara menanam tanaman yang tahan terhadap serangan hama telah lama dilakukan dan merupakan cara pengendalian yang efektif, murah dan tidak berbahaya bagi lingkungan. Penggunaan varietas tahan hama akhir-akhir ini berhasil mengendalikan hama wereng coklat padi. Di luar tanaman padi penggunaan varietas tahan hama di Indonesia masih terbatas karena masih langkanya tersedia varietas atau tanaman yang memiliki ketahanan p. Saat ini lebih dari 80% pertanaman padi di Indonesia yang luas panennya meliputi areal sekitar 10 juta hektar merupakan varietas unggul yang berproduksi tinggi produksi dan tahan terhadap hama wereng coklat. Karena sifatnya yang berproduksi tinggi produksi beras di Indonesia dapat meningkat. Meskipun keberhasilan telah dicapai oleh teknik pengendalian tersebut, tetapi karena terjadinya keseragaman genetik yang besar pada ekosistem persawahan, sifat ketahanan suatu varietas padi seringkali tidak berjalan lama. Hama dalam hal ini wereng coklat karena proses seleksi alami mampu mematahkan sifat ketahanan tersebut. Dalam membicarakan prinsip dan teknik hama dengan tanaman tahan harus mulai mempelajari fenomena evolusioner antara tanaman dan herbivora yang kemudian bagaimana memanfaatkan sifat-sifat ketahanan alami tersebut untuk memperoleh varietas tahan lama yang diinginkan. Ketahanan atau resistensi tanaman yang merupakan pengertian yang bersifat relatif karena untuk melihat ketahanan suatu jenis tanaman, sifat tanaman yang tahan harus dibandingkan dengan sifat tanaman yang tidak tahan atau peka. Tanaman yang tahan adalah tanaman yang menderita kerusakan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tanaman yang lain dalam keadaan tingkat populasi hama yang sama dan keadaan lingkungan yang sama. Jadi pada tanaman yang tahan, kehidupan dan perkembangbiakan serangga hama menjadi lebih terhambat bila dibandingkan dengan apabila sejumlah populasi tersebut berada pada tanaman yang tidak atau kurang tahan. Sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dapat merupakan sifat asli atau terbawa keturunan (faktor genetik) tetapi dapat juga karena keadaan lingkungan yang menyebabkan tanaman tahan terhadap serangan hama.


 C. Pengendalian Secara Fisik dan Mekanik

Dibandingkan dengan teknik pengendalian hama lainnya pengendalian fisik dan mekanik merupakan teknologi pengendalian hama yang paling kuno dilakukan oleh manusia sejak manusia mengusahakan pertanian. Pengendalian dilakukan dengan mematikan hama yang menyerang dengan tangan atau dengan bantuan peralatan. Meskipun cara pengendalian tersebut merupakan cara yang paling kuno teapi masih dipraktekkan sampai saat ini karena kesederhanaannya dan kemudahannya. Pengendalian fisik dan mekanik merupakan tindakan yang kita lakukan dengan tujuan secara langsung dan tidak langsung mematikan hama, mengganggu aktivitas fisiologi hama yang normal dengan cara lain di luar pestisida dan mengubah lingkungan sedemikian rupa sehingga lingkungan menjadi kurang sesuai bagi kehidupan hama. Perbedaan pengendalian fisik dan mekanik tindakan mengubah lingkungan memang ditujukan khusus untuk mematikan atau menghambat kehidupan hama, dan bukan merupakan bagian dari praktek budidaya atau bercocok tanam yang umum seperti pengendalian secara bercocok tanam. Pengendalian fisik dan mekanik harus dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang ekologi serangga hama dan adanya kenyataan bahwa setiap jenis serangga memiliki batas toleransi terhadap faktor lingkungan fisik seperti suhu, kebasahan, bunyi, sinar, spektrum elektromagnetik, dll. Dengan mengetahui ekologi serangga hama sasaran kita dapat mengetahui kapan, dimana, bagaimana tindakan fisik dan mekanik dilakukan agar memperoleh hasil yang efektif dan efisien. Tanpa pengetahuan yang lengkap kemungkinan besar akan memboroskan tenaga, waktu, dan biaya yang besar tetapi populasi hama yang terbunuh atau dihambat kehidupannya hanya sedikit. Meskipun pengendalian ini merupakan yang paling klasik namun tetap memerlukan adanya penelitian dan informasi yang relevan seperti untuk teknik pengendalian yang lain.


D. Pengendalian Hayati

Berbeda dengan pendekatan pengendalian hama yang konvensional PHT lebih mengutamakan berjalannya pengendalian hama yang dilakukan oleh berbagai musuh alami hama. Dalam keadaan seimbang musuh alami selalu berhasil mengendalikan populasi hama sehingga tetap berada di bawah aras ekonomik. Dengan memberikan kesempatan sepenuh-penuhnya kepada musuh alami untuk bekerja berarti menekan sedikit mungkin penggunaan pestisida. Pestisida sendiri secara langsung dan tidak langsung dapat merugikan perkembangan populasi musuh alami. Pengendalian hayati pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama yang merugikan. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali dari parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendali utama hama yang bekerja secara “density-dependent” sehingga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat sehingga mengakibatkan kerugian ekonomik bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan fungsi alaminya. Apabila musuh alami diberikan kesempatan untuk menjalankan fungsinya antara lain dengan jalan rekayasa lingkungan seperti introduksi musuh alami, memperbanayak dan melapaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap musuh alami, maka musuh alami akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sesuai dengan konsepsi dasar PHT pengendalian hayati memgang peranan yang menentukan karena semua usaha teknik pengendalian yang lain secara bersama ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat berfungsinya musuh alami sehingga populasi hama tetap berada di bawah aras ekonomik. Dibandingkan dengan teknik-teknik pengendalian yang lain terutama pestisida, pengenalian hayati memiliki tiga keuntungan utama yaitu permanen, aman, dan ekonomi. Dikatakan permanen karena demikian pengendalian hayati berhasil, musuh alami telah menjadi lebih mapan dan selanjutnya secara alami musuh alami akan mampu menjaga populasi hama dalam keadaan yang seimbang di bawah aras ekonomi dalam jangka waktu yang panjang. Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak samping terhadap lingkungan terutama terhadap serangga atau organisme bukan sasaran. Karena musuh alami adalah khas inang. Meskipun pernah terjadi ketahanan suatu jenis hama terhadap serangan musuh alami anatra lain dengan membentuk kapsul dalam tubuh inang, namun kejadian tersebut sangat langka. Pengendalian hayati juga relatif ekonomik karena begitu usaha tersebut berhasil tidak diperlukan lagi tambahan biaya khusus untuk pengendalian hama yang diupayakan kemudian hanya menghindari tindakan-tindakan yang merugikan perkembangan musuh alami.


 E. Pengendalian Kimiawi

Pengendalian kimiawi yang dimaksudkan di sini adalah penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang diusahakan. Pestisida mungkin merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah umat manusia telah memberikan banayak jasanya baik dalam bidang pertanian, kesehatan, pemukiman, dan kesejahteraan masyarakat yang lain. Berkat pesitisida manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman berbagai penyakit yang membahayakan seperti malaria, DBD, dll. Berbagai jenis serangga vektor penyakit manusia yang berbahaya telah berhasil dikendalikan dengan pestisida. Pada mulanya produksi pertanian juga berhasil ditingkatkan karena pemakaian pestisida yang dapat menekan populasi hama dan kerusakan tanaman akibat serangan hama. Karena keberhasilan tersebut dunia pertanian pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya segala jenis tanaman baik tanaman pangan maupun perkebunan. Meskipun pestisida memiliki banyak keuntungan seperti cepat menurunkan populasi hama, mudah penggunaannya dan secara ekonomik menguntungkan namun dampak negatif penggunaannya semakin lama semakin dirasakan oleh masyarakat. Dampak negatif pestisida yang merugikan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup semakin lama semakin menonjol dan perlu memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah. Seperti diuraikan di atas damapak negatif pestisida ini yang mendorong dikembangkannya konsep PHT. Diharapakan dengan PHT dapat meningkatakan efisiensi penggunaan pestisida sehingga secara keseluruhan diperoleh hasil pengelolaan ekosistem yang optimal.


2.1.2 Pengendalian Gulma

Gulma yang selalu tumbuh di sekitar pertanaman (crop) mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan serta hasil akhir. Adanya gulma tersebut membahayakan bagi kelangsungan pertumbuhan dan menghalangi tercapainya sasaran produksi pertanaman pada umumnya. Usaha manusia dalam mengatasi hal tersebut dapat berupa pemberantasan atau pengendalian, tergantung pada keadaan tanaman, tujuam bertanam, dan biaya. Budidaya pada tanaman dan pengelolaan masih merupakan usaha yang cukup memadai dalam pertanian. Dengan ditemukannya herbisida, peristiwa peracunan dan dosis dalam derajad pengendalian masih perlu dipertimbangkan, demikan pula tentang selektivitas “mode of action” dan efek residu. Pemberantasan gulma dilaksanakan bila gulma itu benar-benar “jahat”, tumbuh di suatu tempat tertentu dalam lintasan yang cukup sempit dan dapat membahayakan lingkungan. Dengan demikian tujuan pemberantasan gulma semata-mata untuk membasmi tumbuhnya tumbuhan itu selengkapnya. Adapun pengendalian dilaksanakan, bila gulma tumbuh pada area tertentu disekitar pertanaman, dan tidak seluruh waktu tumbuh gulma akan mempengaruhi pertumbuhan pertanaman seluruhnya. Hanya pada saat-saat tertentu (saat periode kritis) saja gulma tersebut harus diberantas. Dengan demikian tujuan pemberantasan dan pengendalian gulma berbeda. Pengendalian gulma dilaksanakanpada saat tertentu, yang bila tak diberantas pada saat itu akan benar-benar menurunkan hasil akhir pertanaman. Pengendalian terhadap gulma yang berkembang luas dan sulit untuk dibasmi secara menyeluruh, bila dikerjakan akan memakan biaya cukup mahal dan hasil pertanaman secara ekonomis tidak memadai. Pengendalian gulma hendaknya dilaksanakan jika kita telah memiliki pengetahuan tentang gulma itu. Bagaimana gulma itu dibiakan, disebarkan, bagaimana bereaksi dengan perubahan lingkungan, dan bagaimana dapat beradaptasi dengan lingkungan tersebut, ataupun bagaiman tanggapnya terhadap perlakuan zat kimia, serta panjang siklus hidupnya, seperti annual, biennial, dan perennial. Namun panjang siklus hidup ini beragam dengan beda iklim. Dengan pengalaman pengetahuan di atas, pengendalian gulma dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu secara:


 1. A. Mekanik

 Pengendalian gulma dengan cara ini hanya mengandalkan kekuatan fisik atau mekanik, baik dengan tangan biasa, alat sederhana maupun alat berat.

 • Pencabutan dengan tangan atau disebut penyiangan dengan tangan

Cara semacam ini sangat praktis, efisien, dan terutama murah jika diterapkan pada suatu area yang tidak luas. Pencabutan dengan tangan ditujukan pada gulma annual dan biennial. Untuk gulma perennial pencabutan semacam ini mengakibatakan \terpotong dan tertinggalnya bagian di dalam tanah yang akhirnya kecambah baru dapat tumbuh. Pencabutan bagi jenis gulma yang terakhir ini menjadi berulang-ulang dan pekerjaan menjadi tidak efektif. Pada taman, cara pencabutan akan berhasil akan baik bila diberi air sampai basah benar, sehingga memudahkan pencabutan. Pelaksanaan pencabutan terbaik adalah pada saat sebelum pemebentuksn biji.

• Bajak tangan.

Alat semacam ini dinamakan most satisfactorily meets the weeds.
Alat ini sangat berguna pada halaman dan sebagai alat tambahan pengolah tanah dalam penyiangan di segala jenis barisan pertanaman. Jenis gulma perennial yang persisten dapat pula diberantas dengan alat ini. Dalam 3 sampai 4 bulan pertama pembajakan dengan intrval 10 harian dianjurkan. Alat ini sangat praktis pula dilaksanakan pada tempat yang tak dapat dijangkau dengan alat berat maupun herbisida.

• Pengolahan tanah

 Suatu usaha yang cukup praktis pada pengendalian gulma annual, biennial, perennial, ialah cara pengolahan tanah. Dalam pengendalian gulma annual cukup dibajak dangkal saja. Dengan cara ini gulma tersebut dirusakkan bagian atas tanah saja. Sedang untuk biennal bagian atas tanah dan mahkota, dab bagi perennial kedua bagian di bawah dan di atas tanah dirusakkan. Kebanyakan gulma annual dapat dikendalikan hanay dengan sekali pemberoan. Bila tanah banyak mengandung biji gulma yang viabel, maka perlu diikuti tahun kedua dengan pertanaman barisan dan pengolahan yang bersih untuk mencegah pembentukan biji. Sedangkan untuk gulma perennial, pemberoan semusim belum cukup. Sebaiknya perlakuan digaabung dengan pengunaan herbisida dan pengolahan yang bersih. Metoden ini cukup memadai dan beragam dengan spesies gulma, usia infestasi dan sifat tanah, kesuburan serta kedalaman air tanah. Gulma perennial yang berakar dangkal sekali pembajakan cukup dapat mereduser, dengan “membawa” akar ke atas dan dikeringkan. Pembajakan di atas akan menekan pemebentukan dan tunas baru. Untuk gulma perennial berakar dalam pembajakan berulangkali dan pada interval teratur akan menguarangi perkembangannya. Perlakuan ini akan menguras cadangan pangan dalam akar dengan berulangkali merusak bagian atas. Pada tanah ringan dan kurang subur perlakuan tersebut sangat berhasil. Dari pengolahan tanah dapat disimpukan bahwa penimbunan titik tumbuh gulma dan mengganggu sistem perakaran dengan pemotongan akar dapat membuat gulma mati, karena potongan-potongan akar dapat mengering sebelum pulih kembali.

 • Penggenangan

Pelaksanaan penggenangan pada umumnya berhasil untuk gulma perennial. Penggenangan dibatasi dengan galangan, dengan tinggi kurang lebih 15-25 cm selama 3-8 minggu. Sebelumnya dibajak terlebih dahulu dan tak dibenarkan ada tumbuhan yang mencuat di atas permukaan air. Gulma “ganas” yang perennial dan tumbuh dengan padi sawah pada umumnya diberantas dengan cara ini dan sangat berhasil pada tanah ringan, sedang pada tanah keras dianjurkan. Penggenangan dapat berhasil dengan memuaskan bila ketinggian air tidak menyebabkan pertumbuhan baru, namun informasi andal tentang penggenangan ini juga masih belum lengkap.

 • Panas

Suhu tinggi menyebabkan panas.Panas dapat mengkoagulasikan protopalsma dan mengurangi enzim. Titik mati menyebabkan sel tanaman karena panas terletak antara 45◦-55◦ C. Api atau uap panas sehubungan dengan pengendalian gulma mempunyai tujuan untuk: menghancurkan bagian atas gulma yang telah tua atau terpotong oleh alat lain (api), pada tempat berbatu atau jalan kereta api, uap panas dan hembusan api dapat dikerjakan lebih praktis, pada barisan tanaman kapas biji gulma yang berkecambah dapat dibasmi oleh hembusan api, yang dikerjakan berulang kali sejak batang tanaman bergaris tengah kurang lebih 0,5 cm, panas sering untuk membasmi biji yang terpendam (gulma perennial). Pembakaran lebih sering untuk menghilangkan samapah bekas tanaman daripada sebagai cara pengendalian. Hanya sebagian kecil biji gulma dapat selamat, apabila masuk dalam celah-celah tanah, ikut “drift” dari angin atau aliran air. Di lain pihak, api dapat memacu perkecambahan biji gulma tertentu yang tertimbun tanah sangat dangkal. Meskipun pembakaran gulma tua tidak begitu memadai, namun dapat membantu dalam hal: menghindari bahaya kebakaran, membersihkan aliran air, membunuh hama dan penyakit yang bersarang pada gulma dari sisa bajakan atau potongan, dan menghilangkan samaph itu sendiri.

 • Pembubuhan mulsa

Untuk menghalangi sampainya cahaya matahari pada gulma dan menghalangi pertumbuhan bagian atas, maka selapis bahan mulsa yang ditutupkan di atas gulma akan sangat berhasil. Gulma perennial menghendaki selapis tebal jerami, namun gulma yang mempunyai pertumbuhan vegetatif indertiminite kurang sesuai dengan perlakuan ini. Tetapi perlakuan mulsa dengan jerami, dan lain-lain, hanya dipergunakan dalam ukuran kecil saja.


 B. Metode Pola Tanam Atau Persaingan

Bercocok tanam dengan cara bergiliran akan meningkatkan kemampuan crop (pertanaman). Masing-masing crop berasosiasi dengan sejenis gulma tertentu dengan khas. Menanam crop seperti ini terus menerus (beruntun) dapat mengakibatkan akumulasi gulma, oleh karena itu, perencanaan pergiliran tanaman tidak boleh mengabaikan faktor gulma. Pergiliran tanaman memberi kemungkinan segolongan gulma tidak mempunyai kesempatan mengganggu perkembangan pertanaman berikutnya. Pesaing kuat bagi suatu pertanaman memberi banyak keuntungan. Misalnya, pertanaman itu cepat tumbuh, berkanopi lebat sehingga cepat memberikan naungan pada daerah di bawahnya, dan cepat masak untuk dipanen, karena persaingan yang diperebutkan adalah cahaya, air, dan nutrisi, maupun ruangan.


C. Pengendalian Gulma Secara Biologis

Telah diketahui bahwa insekta dan jamur merupakan hama dan penyakit bagi pertanaman. Di lain pihak ada insekta yang memakan gulma, maka masalahnya lain. Insekta tersebut jadinya dapat memberantas gulma. Sebagai contoh klasuik ialah setelah diperkenalkannya sejenis penggerek Argentine (Cactoblastis cactorum) di Queensland, maka kaktus (Opuntia) yang menghuni lahan seluas kurang lebih 25 juta ha selama 12 tahun dapat ditekan sampai 95%. Demikian pula pengenalan insekta pemakan daun (Chryssalnia spp.) di California dapat menekan sejenis gulma. Namun perlu diingat bahwa penggunaan musuh gulma tersebut harus hati-hati, jangan sampai setelah gulma dimangsa, tanaman pun dapat pula diganggu. Tidak lazim, ada pula, sejumlah hewan ternak yang memakan rerumputan secara teratur dapat menekan sejenis gulma.

D. Pengendalian Gulma Secara Kultur Preventif (Pencegahan)

 Pencegahan lebih baik daripada perawatan, karena itu harus menjaga benih yang akan ditanamkan sebersih mungkin dan bebas dari kontaminasi dengan biji gulma, juga pembuatan kompos harus sempurna, pengunaan alat pertanian harus bersih, serta “menyaring” air pengairan agar tidak membawa biji gulma ke petak pertanaman, ataupun lebih luasnya tidak membawa biji gulma masuk ke tempat penampang air pengairan.

E. Pengendalian Gulma Secara Kultur Teknis

Membiarkan tumbuhan tinggal pada suatu lahan dapat mengakibatkan tanah “terpegang” oleh perakaran dan jatuhnya air hujat tertahan oleh kanopi, akibatnya erosi dapat dikurangi. Namun demikian pada suatu lahan yang ditumbuhi sejenis atau beberapa jenis gulma, bila lahan tersebut hendak ditanami dengan crop, perlu diadakan pengiolahan lahan terlebuh dahulu. Pengolahan tanah yang cukup dalam dan berulangkali dapat menghancurkan tumbuhnya kebanyakan gulma meskipun tindakan semacam ini memerlukan tambahan tenaga. Saat pengolahan tanah yang tepat perlu dipertimbangkan, yaitu sebelum pembentukan tunas, jangan sampai gulma berbunga apalagi membentuk biji. Demikian pula, jenis alat pengolah akan memberi pengaruh pada “bersihnya” pengolahan tanah dari gulma. Alat pengolah yang sederhana sampai sempurna akan memberi beda pada timbulnya gulma selanjutnya. Alat sederhana menggunakan tenaga manusia atau hewan, sedang yang sempurna boleh disebutkan alat berat yang menggunakan mesin.

F. Pengendalian Gulma Secara Ekologis

Memodifikasikan lingkungan yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman menmenjadi baik dan pertumbuhan tanaman menjadi baik dan pertumbuhan gulma menjadi buruk adalah cara lain dalam pengendalian gulma. Misalnya mengubah kedudukan air dan nutrisi dalam tanah saat tertentu (pada saat ada atau tiada tanaman yang tumbuh pada suatu lahan), dengan cara pemberoan setelah suatu tanaman dipanen, ataupun pemberoan yagn diberi genangan. Di lain pihak membuat drainase bagi tanah berair dapat membantu pengendalian gulma dan pengolahan lebih awal dapat dilaksanakan.


 E. Pengendalian Gulma Secara Terpadu

 Akibat parahnya penekanan gulma pada pertumbuhan membuat para petani berusaha dengan sunguh-sunguh dalam menanganinya. Suatu pengendalian gulma yagn efektif melibatkan beberapa cara dalam waktu yang berurutan dalam suatu musim tanam. Misalnya saja, satu jenis spesies pertanaman kurang mampu menekan pertumbuhan gulma, pengendalian secara mekanik sendiri tidak sempurna dalam mengatasi gulma tertentu. Maka timbul pemikiran bahwa paduan antara beberapa cara pengendalian dalam satu musim tanam diharapkan dapat mengatasi masalahnya. Seperti perpaduan antara pengendalian secara mekanik diteruskan dengan pemberian herbisida pasca tumbuh, penggunaan herbisida pra-tumbuh dan lain lagi perpaduan yang sekiranya dapat menekan infestasi gulma yang sulit untuk dibasmi. Penentuan keputusan pelaksanaan pengendalian secara terpadu sangat penting dalam keberhasilannya. Apakah perpaduan cara pengendalian itu menguntungkan atau tidak. Kombinasi dalam perpaduan yang tepat akan memberikan hasil yang maksimal dalam pengendalian gulma.

 F. Pengendalian Gulma Secara Kimiawi


Pengendalian gulma secara kimiawi adalah pengendalian gulma dengan menggunakan bahan kimiawi yang dapat menekan atau bahkan mematikan gulma. Bahan kimiawi itu disebut herbisida: herba=gulma dan sida=membunuh; jadi zat herbisida ialah zat kimiawi yang dapat mematikan gulma. Pengendalian dengan cara ini membutuhkan alat penyebar herbisida serta pengetahuan tentang herbisida itu sendiri, agar pengendalian yang dilakukan dapat berhasil. Namun secara garis besar dapat diutarakan disini bahwa ada dua golongan utama herbisida yang dengan sendirinya penggunaannya memberikan konsekuensi tertentu pula. Dua golongan itu ialah herbisida selektif dan herbisida non selektif. Kebanyakan herbisida akan lebih efektif pada gulma daun lebar, bila besar konsentrasi herbisida yang dipergunakan tepat dan tepat pula saat pemberian yang dibutuhkan. Sesuai dengan waktu pemberian, maka herbisida dapat diberikan secara: 

- Pra-pengolahan, 

sebelum pengolahan tanah, gulma yang di atas lahan diberi herbisida untuk memudahkan pengolahan. 

- Pra-tanam, 

setelah pengolahan tanah dan sebelum tanam herbisida diberikan untuk menghambat pertumbuhan gulma dan memudahkan menanam. 

- Pra-tumbuh, 

setelah tanam, herbisida diberikan sebelum tanaman maupun gulma muncul atau tumbuh. Tentang arah penggunaan herbisida dengan alat penyemprot dapat diberikan secara: 

-langsung pada gulmanya 

-langsung pada gulma yang tumbuh terpencar

 -langsung pada gulma dalam larikan 

-diberikan di atas tanaman 

-diberikan pada keseluruhan tanaman pada gulma 

Tahun 2009 tingkat serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) masih termasuk kategori ringan dan sedang hal ini disebabkan karena dalam mengendalikan OPT telah dilakukan pengamatan sejak dini sehingga jika tanaman terserang hama penyakit dapat langsung dikendalikan. Pengamatan dilakukan sendiri oleh petani/kelompok tani. Anggota kelompok tani yang bertugas mengamati / mengendalikan OPT disebut kelompok Regu Pengendali Hama (RPH) mereka dibimbing oleh PPL dan Pengamat Hama. Falsafah pengendalian hama yang harus digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian hama Terpadu (PHT) yang dalam implementasinya tidak hanya mengandalkan satu taktik pengendalian saja. Taktik pengendalian yang akan diuraikan berikut ini mengacu pada buku karangan Metcalf (1975) dan Matsumura (1980) yang terdiri dari :

 1. Pengendalian secara mekanik
2. Pengendalian secara fisik
3. Pengendalian hayati
4. Pengendalian dengan varietas tahan
5. Pengendalian hama dengan cara bercocok tanam
6. Pengendalian hama dengan sanitasi dan eradikasi
7. Pengendalian kimiawi


A. PENGENDALIAN MEKANIK

Pengendalian mekanik mencakup usaha untuk menghilangkan secara langsung hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat manual. Mengambil hama yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung atau dengan melibakan tenaga manusia telah banyak dilakukan oleh banyak negara pada permulaan abad ini. Cara pengendalian hama ini sampai sekarang masih banyak dilakukan di daerah

- daerah yang upah tenaga kerjanya masih relatif murah.

Contoh pengendalian mekanis yang dilakukan di Australia adalah mengambil ulat-ulat atau siput secara langsung yang sedang menyerang tanaman kubis. Pengendalian mekanis juga telah lama dilakukan di Indonesia terutama terhadap ulat pucuk daun tembakau oleh Helicoverpa sp. Untuk mengendalikan hama ini para petani pada pagi hari turun ke sawah untuk mengambil dan mengumpulkan ulat - ulat yang berada di pucuk tembakau. Ulat yang telah terkumpul itu kemudian dibakar atau dimusnahkan. Rogesan sering dipraktekkan oleh petani tebu (di Jawa) untuk mencari ulat penggerek pucuk tebu (Scirpophaga nivella) dengan mengiris sedikit demi sedikit pucuk tebu yang menunjukkan tanda serangan. Lelesan dilakukan oleh petani kopi untuk menyortir buah kopi dari lapangan yang terserang oleh bubuk kopi (Hypotheneemus hampei)


B. PENGENDALIAN FISIK

Pengendalian ini dilakukan dengan cara mengatur faktor - faktor fisik yang dapat mempengaruhi perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu yang menyebabkan hama sukar untuk hidup.

Bahan - bahan simpanan sering diperlakukan denagn pemanasan (pengeringan) atau pendinginan. Cara ini dimaksudkan untuk membunuh atau menurunkan populasi hama sehingga dapat mencegah terjadinya peledakan hama. Bahan-bahan tersebut biasanya disimpan di tempat yang kedap udara sehingga serangga yang bearada di dalamnya dapat mati lemas oleh karena CO2 dan nitrogen.

Pengolahan tanah dan pengairan dapat pula dimasukkan dalam pengendalian fisik; karena cara - cara tersebut dapat menyebabkan kondisi tertentu yang tidak cocok bagi pertumbuhan serangga. Untuk mengendalikan nematoda dapat dilakukan dengan penggenangan karena tanah yang mengandung banyak air akan mendesak oksigen keluar dari partikel tanah. Dengan hilangnya kandungan O2 dalam tanah, nematoda tidak dapat hidup lebih lama.


 C. PENGENDALIAN HAYATI

Pengendalian hayati adalah pengendalian hama dengan menggunakan jenis organisme hidup lain (predator, parasitoid, pathogen) yang mampu menyerang hama. Di suatu daerah hampir semua serangga dan tunggau mempunyai sejumlah musuh - musuh alami. Tersedianya banyak makanan dan tidak adanya agen - agen pengendali alami akan menyebabkan meningkatnya populasi hama. Populasi hama ini dapat pula meningkat akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak tepat sehingga dapat membunuh musuh-musuh alaminya. Sebagai contoh, meningkatnya populasi tunggau di Australia diakibatkan meningkatnya penggunaan DDT.

Dua jenis organisme yang digunakan untuk pengendalian hayati terhadap serangga dan tunggau adalah parasit dan predator. Parasit selalu berukuran lebih kecil dari organisme yang dikendalikan oleh (host), dan parasit ini selama atau sebagian waktu dalam siklus hidupnya berada di dalam atau menempel pada inang. Umumnya parsit merusak tubuh inang selama peerkembangannya. Beberapa jenis parasit dari anggota tabuhan (Hymenoptera), meletakkan telurnya didalam tubuh inang dan setelah dewasa serangga ini akan meninggalkan inang dan mencari inang baru untuk meletakkan telurnya.

Sebaliknya predator mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar sari serangga yang dikendalikan (prey), dan sifat predator secara aktif mencari mangsanya, kemudian memakan atau mengisap cairan tubuh mangsa sampai mati. Beberapa kumbang Coccinella merupakan predator aphis atau jenis serangga lain yang baik pada fase larva maupun dewasanya. Contoh lain serangga yang bersifat sebagai predator adalah Chilocorus, serangga ini sekarang telah dimanfaatkan sebagai agensia pengendali hayati terhadap hama kutu perisai (Aspidiotus destructor) pada tanaman kelapa.

Agar predator dan tanaman ini sukses sebagai agen pengendali biologis terhadap serangga, maka harus dapat beradaptasi dulu dengan lingkungan tempat hidup serangga hama. Predator dan parasit itu harus dapat beradaptasi dengan cepat pada lingkungan yang baru. Parasit dan predator juga harus bersifat spesifik terhadap hama dan mampu mencari dan membunuhnya.

Parasit harus mempunyai siklus hidup yang lebih pendek daripada inangnya dan mampu berkembang lebih cepat dari inangnya. Siklus hidup parasit waktunya harus sinkron dengan inangnya sehingga apabila saat populasi inang meningkat maka saat peningkatan populasi parasit tidak terlambat datangnya. Predator tidak perlu mempunyai siklus hidup yang sama dengan inangnya, karena pada umumnya predator ini mempunyai siklus hidup yang lebih lama daripada inangnya dan setiap individu predator mampu memangsa beberapa ekor hama.

Baik parasit maupun predator mempunyai ratio jantan dan betina yang besar, mempunyai keperidian dan kecepatan hidup yang tinggi serta memiliki kemampuan meenyebar yang cepat pada suatu daerah dan serangga - serangga itu secara efektif mampu mencari inang atau mangsanya.

Beberapa parasit fase dewasa memerlukan polen dan nektar, sehingga untuk pelepasan dan pengembangan parasit pada suatu daerah, yang perlu diperhatikan adalah daerah tersebut banyak tersedia polen dan nektar yang nanti dapat digunakan sebagai pakan tambahan.

 Parasit yang didatangkan dari suatu daerah, mula - mula dipelihara dahulu di karantina selama beberapa saat agar serangga ini mampu beradaptasi dan berkembang. Selama pemeliharaan di dalam karantina, serangga-serangga ini dapat diberi pakan dengan pakan buatan atau mungkin dapat pula digunakan inangnya yang dilepaskan pada tempat pemeliharaan. Setelah dilepaskan di lapangan populasi parasit ini harus dapat dimonitor untuk mengetahui apakah parasit iru sudah mapan, menyebar dan dapat berfungsi sebagai agen pengendali biologis yang efektif; dan bila memungkinkan serangga ini mampu mengurangi populasi hama relatif lebih cepat dalam beberapa tahun.

Contoh pengendalian biologis yang pernah dilakukan di Australia adalah pengendalian Aphis dengan menggunakan tabuhan chalcid atau pengendalian kutu yang menyerang jeruk dengan menggunakan tabuhan Aphytes.

 Selain menggunakan parasit dan predator, untuk menekan populasi serangga hama dapat pula memanfaatkan beberapa pathogen penyebab penyakit pada serangga. Seperti halnya dengan binatang lain, serangga bersifat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cendawan, virus dan protozoa. Pada kondisi lingkungan yang cocok beberapa jenis penyakit akan menajdi wabah epidemis. Penyakit tersebut secara drastis mampu menekan populasi hama hanya dalam beberapa hari.

Beberapa jenis bakteri, misal Bacillus thuringiensis secara komersial diperdagangkan dalam bentuk spora, dan bakteri ini dipergunakan untuk menyemprot tanaman seperti halnya insektisida. Yang bersifat rentan terhadap bahan ini adalah fase ulat, dan bilamana ulat-ulat itu makan spora, maka akhirnya bakteri akan berkembang di dalam usus serangga hama, akhirnya bakteri itu menembus usus dan masuk ke dalam tubuhnya, sehingga akhirnya larva akan mati.

Jamur dapat pula digunakan untuk mengendalikan serangga hama, sebagai contoh Entomorpha digunakan untuk mengendalikan Aphis yang menyerang alfafa; spesies Beauveria untuk mengendalikan ulat dan Metarrhizium anisopliae sekarang sudah dikembangkan secara masal dengan medium jagung. Jamur ini digunakan untuk mengendalikan larva Orycetes rhinoceros yang imagonya merupakan penggerek pucuk kelapa.

Lebih dari 200 jenis virus mampu menyerang serangga. Jenis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama adalah Baculovirus untuk menekan populasi Orycetes rhinoceros; Nuclear polyhidrosis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama Heliothis zeae pada tongkol jagung, bahan tersebut telah banyak digunakan di AS, Eropa dan Australia. Virus tersebut masuk dan memperbanyak diri dalam sel inang sebelum menyebar ke seluruh tubuh. Inti dari sel - sel yang terserang menjadi besar, kemudian virus tersebut menuju ke rongga tubuh akhirnya inang akan mati.

Metode pengelolaan agen pengendali biologi terhadap serangga hama meliputi :

1. Introduksi, yakni upaya mendatangkan musuh alami dari luar (exotic) ke wilayah yang baru (ada barier ekologi).
2. Konservasi, yakni upaya pelestarian keberadaan musuh alami di suatu wilayah dengan antara lain melalui pengelolaan habitat.
3. Augmentasi, parasit dan predator lokal yang telah ada diperbanyak secara massal pada kondisi yang terkontrol di laboratorium sehingga jumlah agensia sangat banyak, sehingga dapat dilepas ke lapangan dalam bentuk pelepasan inundative.


 D. PENGENDALIAN DENGAN VARIETAS TAHAN

 Beberapa varietas tanaman tertentu kuran dapat diserang oleh serangga hama atau kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan varietas lain. Varietas tahan tersebut mempunyai satu atau lebih sifat-sifat fisik atau fisiologis yang memungkinkan tanaman tersebut dapat melawan terhadap serangan hama. Mekanisme ketahanan tersebut secara kasar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :

 1. Toleransi

 Tanaman yang memiliki kemampuan melawan serangan serangga dan mampu hidup terus serta tetap mampu berproduksi, dapat dikatakan sebagai tanaman yang toleran terhadap hama. Toleransi ini sering juga tergantung pada kemampuan tanaman untuk mengganti jaringan yang terserang, dan keadaan ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dan kerapatan hama yang menyerang pada suatu saat.

2. Antibiosis

Tanaman - tanaman yang mengandung toksin (racun) biasanya memberi pengaruh yang kurang baik terhadap serangga. Tanaman yang demikian dikatakan bersifat antibiosis. Tanaman ini akan mempengaruhi banyaknya bagian tanaman yang dimakan hama, dapat menurutkan kemampuan berkembang biak dari hama dan memperbesar kematian serangga. Tanaman kapas yang mengandung senyawa gossypol dengan kadar tinggi mempunyai ketahanan yang lebih baik bila dibandingkan dengan yang mengandung kadar yang lebih rendah, karena bahan kimia ini bekerja sebagai antibiosis terhadap jenis serangga tertentu.

3. Non prefens

 Jenis tanaman tertentu mempunyai sifat fisik dan khemis yang tidak disukai serangga. Sifat - sifat tersebut dapat berupa tekstur, warna, aroma atau rasa dan banyaknya rambut sehingga menyulitkan serangga untuk meletakkan telur, makan atau berlindung. Pada satu spesies tanaman dapat pula terjadi bahwa satu tanaman kurang dapat terserang serangga dibanding yang lain. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sifat yang ada sehingga dapat lebih menarik lagi bagi serangga untuk memakan atau meletakkan telur. Contoh pengendalian hama yang telah memanfaatkan varietas tahan adalah pengendalian terhadap wereng coklat pada tanaman padi, pengendalian terhadap kutu loncat pada lamtoro, pengendalian terhadap Empoasca pada tanaman kapas.


 E. PENGENDALIAN HAMA DENGAN PENGATURAN CARA BERCOCOK TANAM

Pada dasarnya pengendalian ini merupakan pengendalian yang bekerja secara alamiah, karena sebenarnya tidak dilakukan pembunuhan terhadap hama secara langsung. Pengendalian ini merupakan usaha untuk mengubah lingkunagn hama dari keadaan yang cocok menjadi sebaliknya. Dengan mengganti jenis tanaman pada setiap musim, berarti akan memutus tersedianya makanan bagi hama-hama tertentu. Sebagai contoh dalam pengendalian hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) diatur pola tanamnya, yakni setelah padi - padi, pada periode berikutnya supaya diganti dengan palawija. Cara ini dimaksudkan untuk menghentikan berkembangnya populasi wereng. Cara di atas dapat pula diterapkan pada hama lain, khususnya yang memiliki inang spesifik. Kebaikan dari pengendalian hama dengan mengatur pola tanam adalah dapat memperkecil kemungkinan terbentuknya hama biotipe baru.

Cara - cara pengaturan pola tanam yang telah diterapkan pada pengendalian wereng coklat adalah :

a. Tanam serentak meliputi satu petak tersier (wikel) dengan selisih waktu maksimal dua minggu dan selisih waktu panen maksimal 4 minggu, atau dengan kata lain varietas yang ditanam relatif mempunyai umur sama. Dengan tanam serentak diharapkan tidak terjadi tumpang tindih generasi hama, sehingga lebih mudah memantau dan menjamin efektifitas pengendalian, karena penyemprotan dapat dilakukan serentak pada areal yang luas.

 b. Pergiliran tanaman meliputi areal minimal satu WKPP dengan umur tanaman relatif sama.

 c. Pergiliran varietas tahan. Untuk daerah-daerah yang berpengairan baik, para petani pada ummnya akan menanam padi - padi sepanjang tahun. Kalau pola demikian tidak dapat diubah maka teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pergiliran varietas yang ditanam. Pada pengendalian ini diusahakan supaya digunakan varietas yang mempunyai tetua berbeda, dengan demikian dapat menghambat terbentuknya wereng biotipe baru.


 F. PENGENDALIAN HAMA DENGAN SANITASI DAN ERADIKASI

Beberapa jenis hama mempunyai makanan, baik berupa tanaman yang diusahakan manusia maupun tanaman liar (misal rumput, semak - semak, gulam dan lain - lain). Pada pengendalian dengan cara sanitasi eradikasi dititikberatkan pada kebersihan lingkungan di sekitar pertanaman. Kebersihan lingkungan tidak hanya terbatas di sawah yang ada tanamannya, namun pada saat bero dianjurkan pula membersihkan semak-semak atau turiang-turiang yang ada. Pada musim kemarau sawah yang belum ditanami agar dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk membunuh serangga-serangga yang hidup di dalam tanah, memberikan pengudaraan (aerasi), dan membunuh rerumputan yang mungkin merupakan inang pengganti suatu hama tertentu.

Contoh pengendalian dengan eradikasi terhadap serangan hama wereng coklat adalah :

a. Pada daerah serangan wereng coklat tetapi bukan merupakan daerah serangan virus, eradikasi dilakukan pada tanaman padi yang telah puso. Pada daerah serangan berat eradikasi hendaknya diikuti pemberoan selama 1 - 2 bulan atau mengganti dengan tanaman selain padi.

b. Pada daerah serangan hama wereng yang juga merupakan daerah serangan virus, eradikasi dilakukan sebagai berikut :

1). Eradikasi selektif dilakukan pada padi stadia vegetatif yang terserang virus dengan intensitas sama dengan atau kurang dari 25 % atau padi stadia generatif dengan intensitas serangan virus kurang dari 75 %.

2). Eradikasi total dilakukan terhadap pertanaman statdia vegetatif dengan intensitas serangan virus lebih besar dari 25 % atau pada padi stadia generatif dengan intensitas serangan virus lebih besar sama dengan 75 %.

Cara melakukan eradikasi adalah dengan membabat tanaman yang terserang hama, kemudian membakar atau membenamkan ke dalam tanah.

G. PENGENDALIAN KIMIA

 Bahan kimia akan digunakan untuk mengendalikan hama bilamana pengendalian lain yang telah diuarikan lebih dahulu tidak mampu menurunkan populasi hama yang sedang menyerang tanaman. Kelompok utama pestisida yang digunakan untuk mengendalikan serangga hama dengan tunggau adalah insektisida, akarisida dan fumigan, sedang jenis pestisida yang lain diberi nama masing-masing sesuai dengan hama sasarannya. Dengan demikian penggolongan pestisida berdasar jasad sasaran dibagi menjadi :

a. Insektisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas jasad pengganggu yang berupa serangga. Contoh : Bassa 50 EC Kiltop 50 EC dan lain - lain.

b. Nematisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas jasad pengganggu yang berupa cacing - cacing parasit yang biasa menyerang akar tanaman. Contoh : Furadan 3 G.

c. Rodentisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas binatang - binatang mengerat, seperti misalnya tupai, tikus. Contoh : Klerat RM, Racumin, Caumatatralyl, Bromodoiline dan lain - lain.

d. Herbisida : adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulam (tanaman pengganggu). Contoh : Ronstar ODS 5 / 5 Saturn D.

 e. Fungisida : digunakan untuk memberantas jasad yang berupa cendawan (jamur). Contoh : Rabcide 50 WP, Kasumin 20 AB, Fujiwan 400 EC, Daconil 75 WP, Dalsene MX 2000.

f. Akarisida : yaitu racun yang digunakan untuk mengendalikan jasad pengganggu yang berupa tunggau. Contoh : Mitac 200 EC, Petracrex 300 EC.

g. Bakterisida : yaitu racun yang digunakan untuk mengendalikan penykit tanaman yang disebabkan oleh bakteri. Contoh : Ffenazin - 5 - oksida (Staplex 10 WP).

Insektisida dapat pula dibagi menurut jenis aktivitasnya. Kebanyakan insektisida bersifat racun bilamana bersentuhan langsung atau tertelan serangga. Namun ada pula jenis lain yang bersifat sebagai repelen (jenis ini digunakan untuk mencegah serangga yang akan menyerang tanaman), atraktan (bahan yang dapat menarik serangga, dengan demikian serangga yang terkumpul akan lebih mudah terbunuh), anti feedan (senyawa ini dapat menghindarkan dari serangan suatu serangga) dan khemosterilan (yang dapat menyebabkan kemandulan bagi serangga yang terkena).

 Menurut sifat kecepatan meracun, pestisida digolongkan menjadi :

1. Racun kronis : yaitu racun yang bekerjanya sangat lambat sehingga untuk mematikan hama membutuhkan waktu yang sangat lama. Contoh : racun tikus Klerat RMB.

2. Racun akut : adalah racun yang bekerjanya sangat cepat sehingga kematian serangga dapat segera diketahui setelah racun tersebut mengenai tubuhnya. Contoh : Bassa 50 EC, Kiltop 50 EC, Baycarb 50 EC dan lain - lain.

Ditinjau dari cara bekerjanya, pestisida dibagi menjadi :

1. Racun perut

Racun ini terutama digunakan untuk mengendalikan serangga yang mempunyai tipe alat mulut pengunyah (ulat,belalang dan kumbang), namun bahan ini dapat pula digunakan terhadap hama yang menyerang tanaman dengan cara mengisap dan menjilat. Bahan insektisida ini disemprotkan pada bagian yang dimakan serangga sehingga racun tersebut akan tertelan masuk ke dalam usus, dan di sinilah terjadi peracunan dalam jumlah besar.

Ada 4 cara aplikasi racun perut terhadap serangga :

a. Insektisida diaplikasikan pada makanan alami serangga sehingga bahan tersebut termakan oleh serangga sasaran. Bahan makanan itu dapat berupa daun, bulu-bulu / rambut binatang. Dalam aplikasinya, bahan - bahan makanan serangga harus tertutup rata oleh racun pada dosis lethal sehingga hama yang makan dapat mati.

b. Insektisida dicampur dengan bahan atraktan dan umpan itu ditempatkan pada suatu lokasi yang mudah ditemukan serangga.

c. Insektisida ditaburkan sepanjang jalan yang bisa dilalui hama. Selagi hama itu lewat biasanya antene dan kaki akan bersentuhan dengan insektisida atau bahkan insektisida itu tertelan. Akibatnya hama mati.

d. Insektisida diformulasikan dalam bentuk sistemik, dan racun ini diserap oleh tanaman atau tubuh binatang piaraan kemudian tersebar ke seluruh bagian tanaman atau badan sehingga apabila serngga hama tersebut mengisap cairan tanaman atau cairan dari tubuh binatang (terutama hama yang mempunyai tipe mulut pengisap, misal Aphis) dan bila dosis yang diserap mencapai dosis lethal maka serangga akan mati.

2. Racun kontak

 Insektisida ini masuk ke dalam tubuh serangga melalui permukaan tubuhnya khususnya bagian kutikula yang tipis, misal pada bagian daerah perhubungan antara segmen, lekukan-lekukan yang terbentuk dari lempengan tubuh, pada bagian pangkal rambut dan pada saluran pernafasan (spirakulum). Racun kontak itu dapat diaplikasikan langsung tertuju pada jasad sasaran atau pada permukaan tanaman atau pada tempat - tempat tertentu yang biasa dikunjungi serangga. Racun kontak mungkin diformulasikan sebagai cairan semprot atau sebagai serbuk. Racun kontak yang telah melekat pada serangga akan segera masuk ke dalam tubuh dan disinilah mulai terjadi peracunan.

Yang digolongkan sebagai insektisida kontak adalah :

 a. Bahan kimia yang berasal dari kestrak tanamaan, seperti misalnya nikotin, rotenon, pirethrum.

b. Senyawa sintesis organik, misal BHC, DDT, Chlordan, Toxaphene, Phosphat organik.

c. Minyak dan sabun.

d. Senyawa anorganik seperti misalnya Sulfur dan Sulfur kapur.

3. Racun pernafasan

 Bahan insektisida ini biasanya bersifat mudah menguap sehingga masuk ke dalam tubuh serangga dalam bentuk gas. Bagian tubuh yang dilalui adalah organ - organ pernafasan seperti misalnya spirakulum. Oleh karena bahan tersebut mudah menguap maka insektisida ini juga berbahaya bagi manusia dan binatang piaraan. Racun pernafasan bekerja dengan cara menghalangi terjadinya respirasi tingkat selulair dalam tubuh serangga dan bahan ini sering dapat menyebabkan tidak aktifnya enzim-enzim tertentu. Contoh racun nafas adalah : Hidrogen cyanida dan Carbon monoksida.

4. Racun Syaraf

Insektisida ini bekerja dengan cara menghalangi terjadinya transfer asetikholin estrase yang mempunyai peranan penting dalam penyampaian impul. Racun syaraf yang biasa digunakan sebagai insektisida adalah senyawa organo klorin, lindan, carbontetraclorida, ethylene diclorida : insektisida-insektisida botanis asli seperti misalnya pirethin, nikotin, senyawa organofosfat (parathion dan dimethoat) dan senyawa karbanat (methomil, aldicarb dan carbaryl).

5. Racun Protoplasmik

Racun ini bekerja terutama dengan cara merusak protein dalam sel serangga. Kerja racun ini sering terjadi di dalam usus tengah pada saluran pencernaan.Golongan insektisida yang termasuk jenis ini adalah fluorida, senyawa arsen, borat, asam mineral dan asam lemak, nitrofenol, nitrocresol, dan logam - logam berat (air raksa dan tembaga).

6. Racun penghambat khitin

Racun ini bekerja dengan cara menghambat terbentuknya khitin. Insektisida yang termasuk jenis ini biasanya bekerja secara spesifik, artinya senyawa ini mempunyai daya racun hanya terhadap jenis serangga tertentu. Contoh : Applaud 10 WP terhadap wereng coklat.

8. Racun sistemik

Insektisida ini bekerja bilamana telah terserap tanaman melalui akar, batang maupun daun, kemudian bahan-bahan aktifnya ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga bilamana serangga mengisap cairan atau memakan bagian tersebut akan teracun.

 Pestisida adalah merupakan racun, baik bagi hama maupun tanaman yang disemprot. Mempunyai efek sebagai racun tanaman apabila jumlah yang disemprotkan tidak sesuai dengan aturan dan berlebihan (overdosis), karena keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya kebakarn tanaman.

Untuk memperoleh hasil pengendalian yang memadai namun pertumbuhan tanaman tidak terganggu, pemakaian pestisida hendaknya memperhatikan kesesuaiannya, baik tepat jenis, tepat waktu maupun tepat ukuran (dosis dan konsentrasi). Dosis adalah banyaknya pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama secara memadai pada lahan seluas 1 ha. Konsentrasi adalah banyaknya pestisida yang dilarutkan dalam satu liter air.

Untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat serta memperoleh efektifitas pengendalian yang tinggi maka oleh perusahaan pestisida, satu bahan aktif dibuat dalam bermacam-macam formulasi.

 Tujuan dari formulasi ini adalah :

1. Mempermudah penyimpanan.

2. Mempermudah penggunaan.

 3. Mengurangi daya racun yang berlebihan.


Pestisida terbuat dari campuran antara dua bahan, yaitu bahan aktif (bahan pestisida yang mempunyai daya racun) dan bahan pembawa / inert (bahan pencampur yang tidak mempunyai daya racun).

Macam-macam formulasi yang banyak dibuat oleh perusahaan pembuat pestisida adalah :

1. Formulasi dalam bentuk cairan

 a. Cairan yang diemulsikan. Biasanya ditandai dengan kode EC (Emulsifeable Concentrate) yaitu cairan yang diemulsikan. Pestisida ini dalam bentuk asli berwarna bening setelah dicampur air akan membentuk emulsi yang berwarna putih susu. Contoh : Dharmabas 50 EC, Bassa 50 EC dan lain - lain.
 b. Cairan yang dapat dilarutkan. Formulasi ini biasanya ditandai dengan kode WSC atau SCW yaitu kependekan dari Soluble Concentrated in Water. Pestisida ini bila dilarutkan dalam air tidak terjadi perubahan warna (tidak membentuk emulsi sehingga cairan tersebut tetap bening). Contoh : Azodrin 15 WSC.


2. Bentuk Padat

 a. Berupa tepung yang dapat dilarutkan, dengan kode SP (Soluble Powder). Penggunaannya disemprotkan dengan sprayer. Contoh : Sevin 85 SP.

b. Berupa tepung yang dapat dibasahi dengan merek dagang WP (Weatable Powder). Pestisida ini disemprotkan dengan dicampur air. Karena sifatnya tidak larut sempurna, maka selama menyemprot seharusnya disertai dengan pengadukan secara terus-menerus.Contoh: Aplaud 10 WP.

c. Berupa butiran dengan kode G (Granulair). Aplikasi pestisida ini adalah dengan menaburkan atau membenamkan dekat. Contoh : Furadan 3 G, Dharmafur 3 G.

 d. Campuran umpan (bait). Pestisida ini dicampur dengan bahan makanan yang disukai hama, kemudian diumpankan. Contoh : Klerat RMB.


 RANGKUMAN
 Pengendalian hama merupakan upaya manusia untuk mengusir, menghindari dan membunuh secara langsung maupun tidak langsung terhadap spesies hama. Pengendalian hama tidak bermaksud memusnahkan spesies hama, melainkan hanya menekan sampai pada tingkat tertentu saja sehingga secara ekonomi dan ekologi dapat dipertanggungjawabkan.

Falsafah pengendalian hama yang digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT tidak pernah mengandalkan satu taktik pengendalian saja dalam memcahkan permasalahan hama yang timbul, melainkan dengan tetap mencari alternatif pengendalian yang lain.

Beberapa taktik pengendalian hama yang dikenal meliputi : taktik pengendalian secara mekanis, fisis, hayati, dengan varietas tahan, mengatur pola tanam, sanitasi dan eradikasi, dan cara kimiawi.